Musyawarah itu menghangat. Pasalnya Nabi Elia sangat marah. Tadi ia mendengar kabar dari para malaikat yang baru pulang dari perjalanan menjelajahi bumi. Kabar apa? Bukan kabar yang menyenangkan. Sebaliknya, sangat mengecewakan bahkan membangkitkan kemarahannya. Nabi yang tersohor anti-Baalisme dan musuh bebuyutan penguasa yang korup itu mendapat kabar begini:
Ada sebuah gereja di sebuah kota. Sebutlah Kota H. Sebagaimana tercantum di papan namanya, gereja itu berasaskan Mennonite. Jadi, tergolong dalam historic peace churches. Itu gereja besar, di seantero kota C gedung-gedungnya paling megah-mewah-mahal. Itu bukan gereja sembarangan, orang-orang Kristen yang kaya-raya dan berpengaruh berjemaat di gereja tersebut. Pengusaha ini, pengusaha itu; manajer di perusahaan ini, boss di perusahaan itu. Lagipula karena harmonis hubungannya dengan penguasa setempat – baik aparat resmi maupun para preman – gereja itu selalu aman dari berbagai gangguan. Maklumlah, uang bisa mengamankan nyaris segalanya.
Gereja tersebut memiliki rumah sakit dan sekolah. Rumah sakitnya tergolong paling bagus kualitasnya di kota C, sedangkan sekolahnya pas-pasan mutunya. Suatu ketika, pihak yayasan berniat mengembangkan sekolah agar mampu bersaing di bursa pendidikan (sebab pendidikan di negeri yang berkota C semakin kapitalistis). Bahasa rohaninya: agar sekolah lebih dapat melaksanakan misi dari Tuhannya, yakni Yesus Kristus.
Pengembangan itu menyangkut fasilitas: perlu penambahan ruang untuk lab, entah lab apa. Tentu saja proyek tersebut membutuhkan dana besar, di antaranya untuk “membebaskan” tanah. Pasalnya, tanah yang direncanakan untuk membangun fasilitas lab persis terletak di belakang kompleks sekolah menengah pertama milik yayasan gerejawi tersebut. Sebetulnya itu sih tidak masalah. Masalahnya ini: tanah itu sudah ada yang menghuni dan memilikinya. Di atas tanah tersebut berdiri sebuah rumah. Sudah puluhan tahun. Penghuni sekaligus pemiliknya mengatakan bahwa tanah dan rumahnya adalah warisan leluhur. Alhasil, ketika pihak yayasan yang disponsori oleh sekretaris Majelis Jemaat yang berkantong tebal karena memiliki perusahaan otobus terkemuka mendatangi si pemilik untuk membeli tanah dan rumah tersebut, mereka mendapatkan penolakan halus. Intinya, karena itu tanah dan rumah warisan, pemiliknya (yang tentunya ahli waris tanah dan rumah tersebut) tidak bersedia menjualnya – betapapun harganya.
Pendekatan demi pendekatan yang dicoba sepersuasif mungkin tetap gagal. Si penghuni sekaligus pemilik bersikukuh tidak bersedia menjual tanah dan rumahnya. Ini keramat, warisan leluhur. Pihak yayasan pun rapat, coba pikirkan jalan keluar. Rupanya, sekretaris MJ yang kaya-raya dan anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu menjadi gerah. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini merintangi pekerjaan Tuhan. Entah Tuhan yang mana yang dimaksudnya. Tentu Tuhan Yesus, begitu kata hatinya. Tapi Tuhan Yesus yang mana, mungkin tidak sama dengan Laki-laki Bersandal yang gemar njajah desa milang kori di Galilea. Atau mungkin “Tuhan Yesus” itu nama suci buat ambisi-ambisi kotor dan hasrat nafsu angkara-murka. Lalu bagaimana menghadapi “iblis” yang “merintangi pekerjaan Tuhan” itu? Boss kita ini tahu betul, iblis yang satu ini tidak takut terhadap doa, ayat-ayat Alkitab, atau tengkingan dalam nama Yesus. Iblis ini juga tidak bisa ditaklukkan dengan segepok uang ratusan juta rupiah. Tapi mungkin iblis ini, seperti halnya banyak penduduk di negeri berkota C, takut pada bedil. (Sebab, sekian lama mereka telah terpaksa hidup di bawah ancaman moncong bedil rezim fasis yang bernama Tatanan Anyar. Memang, kini Tatanan Anyar sudah berlalu, diganti dengan Era Tanpa Tatanan, meski gembong-gembong dan kroco-kroco fasis tempo doeloe terus saja berusaha untuk come back to power. Dekat-dekat Pemilu, maraklah wajah-wajah para fasis di TV, di surat-surat kabar, dan di jalan-jalan.)
Segeralah boss kita yang sekretaris MJ merangkap orang kaya raya sekaligus anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu bertindak. Percaya bahwa kemenangan anak-anak Tuhan ada di tumpukan uang dan moncong bedil, diajaknya seorang kepala polisi setempat untuk menemui iblis si ahli waris tanah dan rumah. Didatangi kepala polisi dengan pistol terselip di pinggang, si iblis mengkeret. Entah kejahatan apa yang disangkakan kepadanya, gemetar sekujur tubuhnya, juga tubuh istri dan anak-anaknya. “Sudah, jangan macam-macam. Bisa berabe nasib kalian. Sebutkan berapa banyak uang yang kalian kehendaki. Aku akan beri. Tapi jika tidak, urusanmu dengan Pak Kepala Polisi Setempat …” Mungkin karena trauma terhadap kezaliman rezim fasis Tatanan Anyar sekaligus buta-hukum, si iblis, istri, dan anak-anaknya menyerah. Disebutkanlah sejumlah uang. Tak lama kemudian, semuanya beres seberes-beresnya. Yayasan pendidikan gerejawi sekarang punya tanah persis di belakang kompleks sekolah menengah pertamanya.
Ketika para pendeta dan seluruh anggota Majelis Jemaat gereja besar itu mendengar laporan tentang keberhasilan yayasan “membebaskan” tanah tersebut, bersukacitalah mereka dan mengucap syukur kepada Allah. Gereja dan yayasan pun siap membangun ruang demi pengembangan pendidikan dalam rangka mission sacre memenangkan jiwa-jiwa tunas bangsa dan memberadabkan mereka menurut nilai-nilai kristiani yang lahir-batin sudah terjual di bawah rezim kapitalisme pendidikan. “Sungguh ajaib mukjizat Tuhan Allah itu,” kata salah seorang pendeta dalam khotbahnya saat peletakan batu pertama pembangunan ruang lab di atas tanah eks milik seorang iblis dan istri dan anaknya. Mereka sudah pindah entah ke mana. “Segala puji syukur bagi-Mu, demikianlah kami persembahkan tanah ini kepada-Mu. Berkatilah pembangunan dalam rangka pengembangan ini demi hormat dan kemuliaan bagi nama-Mu,” kata seorang pendeta lain dalam doa yang panjang lebar setelah “firman Tuhan” diwartakan. Berbagai pidato sambutan mengisi udara di siang hari bolong yang panas namun berkemenangan saat peletakan batu pertama …
“Sadhumuk bathuk, sanyari bumi, itu sikap antara manusia dengan tanahnya, tanah leluhurnya, tanah yang dititipkan Yahweh kepada mereka. Itulah sebabnya Nabot mempertahankan tanahnya sampai mati dari keinginan Ahab. Kenyataannya, Nabot memang mati sebagai orang yang terkutuk menurut tuduhan tokoh-tokoh masyarakat Israel, fatwa mati Majelis Ulama Israel, dan putusan pengadilan yang distir oleh para pemangku kekuasaan negara. Si kromo, istri, dan anak-anaknya memang tidak sampai mati seperti Nabot. Rasa takut mereka begitu besar untuk ber-sadhumuk bathuk sanyari bumi. Tapi pada dasarnya yang telah terjadi di Kota C adalah Kebun Anggur Nabot Jilid Dua!” kata Nabi Elia, pahit.
“Gereja dan yayasannya harus turut bertanggungjawab, Kanjeng Nabi,” kata Nabi Amos, dengan takzim, kepada seniornya. Nabi Hosea, Nabi Yesaya, dan Nabi Mikha, jago-jago keadilan sosial era Perjanjian Pertama, mengiyakan kata-kata peternak dan pengumpul buah ara dari Tekoa itu. Karl Marx dan Frederick Engels, yang juga hadir, berkomentar dengan prihatin, “Agama memang candu rakyat.” Kedua gembong sosialisme-ilmiah yang brewokan itu juga menyayangkan terlambat bergeraknya sebuah partai kiri yang selama ini dikenal berkomitmen kepada buruh, tani, dan kaum miskin kota. “Mereka terlambat mengetahuinya sampai beberapa saat selah kejadian itu, Karel,” kata salah seorang malaikat kepada Marx.
“Lalu di mana para pendeta, dan apa yang mereka lakukan?” tanya Rosa Luxemburg, seketika teringat tulisannya, Socialism and the Christian Churches. Dalam tulisan itu ia mengekspresikan keyakinannya bahwa Gereja Perdana dan para rasul adalah kaum komunis yang ardent, meski para gerejawan Ortodoks mati-matian membenci kaum sosialis-demokrat.
“Mereka ada di sana, dan mereka tidak berbuat apa-apa,” kata Nabot, pahit.
“Ya, mereka ada di sana. Tapi mereka bukannya tidak berbuat apa-apa. Manisnya uang dan nikmatnya berbagai fasilitas dan jaminan hidup membuat para pendeta itu terbutakan. Kesadaran palsu telah membentuk mereka. Mereka memberikan legitimasi dan justifikasi teologis. Perampasan itu dimaknai sebagai cara Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Mereka bertingkah seperti imam-imam munafik di Kenisah, yang menguduskan ketidakadilan, kelaliman, dan kesewenang-wenangan atas nama Yahweh,” kata Nabi Yesaya.
“Tapi, bukankah mereka menyebut diri sebagai hamba-hamba Yesus Kristus? Bukankah mereka berkhotbah tentang Dia dan membaptis orang yang mengaku percaya kepada-Nya?” tanya Penatua Yohanes.
“Tapi Yesus Kristus yang mana, Saudaraku? Anda sendiri pernah berkata-kata tentang kristus-kristus tetiron, bukan? Salah satu kristus tetiron adalah kristus jelmaan Mammon. Bila Yesus dari Nazaret mengadakan peperangan tanpa kompromi, bertempur hidup-mati, melawan Mammon, kristus tetiron jelmaan Mammon menghendaki para pendeta menjadi budak Mammon dalam nama Yesus Kristus,” kata Rasul Petrus, prihatin.
“Lalu, bagaimana tanggapan Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu?” tanya Rasul Paulus, yang sangat mangkel karena ajarannya, iustificatio sola fide alias “pembenaran melalui iman” diselewengkan oleh banyak orang Kristen sehingga menjadi “apapun yang kau perbuat, karena kau sudah percaya kepada Yesus Kristus, sekali selamat tetap selamat!”
“Sekarang Dia terpenjara, Bro,” kata Penatua Yohanes, sedih. Tampak matanya berkaca-kaca, memantulkan duka jiwa “murid yang dikasihi Yesus.”
“Apa? Terpenjara? Apa maksudmu, Saudaraku?” tanya Rasul Paulus, kaget.
“Yesus terpenjara justru manakala Ia dimahkotai dengan mahkota emas oleh gereja dan orang-orang Kristen, wahai Rasul Paulus,” kata Kim Chi-ha, penyair Kristen dari Korea.
“Maksudmu?” tanya Rasul Petrus, yang pengakuan imannya terhadap Yesus dari Nazaret telah menjadi fondasi berdirinya gereja. Sedikit-banyak ia merasa turut bertanggungjawab atas penyelewengan terhadap kemesiasan Yesus.
“Yesus dari Nazaret yang kita kenal adalah sosok yang menjadi ancaman bagi kekuasaan, baik agama, politik, maupun ekonomik yang tidak adil, menindas, menghisap, pendeknya tidak manusiawi. Gereja di Kota C, bahkan di banyak tempat, tidak menyukai Yesus yang seperti itu. Maka mereka meringkus Dia, memahkotai kepala-Nya yang pernah berdarah akibat kezaliman manusia dengan mahkota emas, dan memenjarakan-Nya dalam semen. Kemudian mereka menaruh-Nya di altar pemujaan yang gegap gempita. Seolah-olah mereka memuja Dia, tapi sebetulnya telah membungkam mulut-Nya dan melumpuhkan aksi-Nya yang terkenal radikal,” papar Kim Chi-ha.
“Pada saat yang sama mereka membuat Yesus Kristus yang baru, yang pro-penindasan, pro-penghisapan, pro-ketidakadilan, pro-kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Kristus tetiron inilah yang melegitimasi dan menjustifikasi kejahatan-kejahatan mereka,” kata sang dokter revolusioner Ernesto Guevara de la Serna, alias El Comandante Che Guevara.
“Jadi, saat ini Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu terbelenggu, ditawan oleh gereja dan para pemuja-Nya sendiri?” tanya Rasul Petrus, gelisah.
“Dulu,” kata Yohanes sang nabi, “Gereja di Laodikia pernah mengusir-Nya. Sampai-sampai Ia berkata, ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok…’ Sekarang mereka memenjarakan Dia dengan kemewahan.”
“Tentulah Ia merasa perlakuan ini lebih keji daripada menyalibkan-Nya,” kata penulis Surat Ibrani, yang minta kepada pers sorgawi untuk tidak menyebutkan namanya.
“Lalu apa artinya doa yang diajarkan-Nya kepada kita: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di sorga?” tanya Menno Simons, yang pedih hatinya karena sebuah gereja yang membawa-bawa namanya telah hidup dalam kekerasan dengan menggunakan uang dan bedil sebagai senjata ampuhnya.
Semua terdiam. Keheningan sarat duka meliputi ruang musyawarah para penduduk sorga. Gandhi Sang Mahatma, sang jiwa agung, bergumam, “Perlu ada lebih banyak sosok Yesus dari Nazaret di dalam dunia.”
“Sebetulnya itu tugas gereja dan orang Kristen, wahai Sang Jiwa Agung,” kata Bunda Teresa, lembut.
“Tapi begitu sosok Yesus dari Nazaret muncul dan berkiprah, seketika pula mereka akan berusaha menyingkirkannya,” kata Nabi Elia, geram namun merasa tidak berdaya.
“Itulah sebabnya revolusi belum pernah selesai, Kawam-kawan semua!” kata Marx.
Semua kembali terdiam, terpekur. Ruangan itu kembali hening. Kata-kata Marx terngiang-ngiang di telinga mereka. Banyak di antara mereka yang tidak setuju, tapi semua sadar: sukar menemukan cara lain.
Hanya ketika rakyat pekerja memiliki, menguasai, mengontrol, dan mengakses alat-alat produksi massal alias alat-alat pencipta kekayaan masyarakat secara demokratis, kukuhlah basis struktur masyarakat. Di atas basis itulah kelak akan dibangun suprastruktur rohani, etis, politik, dan budaya yang bernafaskan keadilan dan perdamaian.
“Hm, rakyat pekerja harus membebaskan Yesus dari Nazaret,” gumam Widji Thukul dan Marsinah, nyaris bersamaan. *** (Pandu Jakasurya_070309)
Ada sebuah gereja di sebuah kota. Sebutlah Kota H. Sebagaimana tercantum di papan namanya, gereja itu berasaskan Mennonite. Jadi, tergolong dalam historic peace churches. Itu gereja besar, di seantero kota C gedung-gedungnya paling megah-mewah-mahal. Itu bukan gereja sembarangan, orang-orang Kristen yang kaya-raya dan berpengaruh berjemaat di gereja tersebut. Pengusaha ini, pengusaha itu; manajer di perusahaan ini, boss di perusahaan itu. Lagipula karena harmonis hubungannya dengan penguasa setempat – baik aparat resmi maupun para preman – gereja itu selalu aman dari berbagai gangguan. Maklumlah, uang bisa mengamankan nyaris segalanya.
Gereja tersebut memiliki rumah sakit dan sekolah. Rumah sakitnya tergolong paling bagus kualitasnya di kota C, sedangkan sekolahnya pas-pasan mutunya. Suatu ketika, pihak yayasan berniat mengembangkan sekolah agar mampu bersaing di bursa pendidikan (sebab pendidikan di negeri yang berkota C semakin kapitalistis). Bahasa rohaninya: agar sekolah lebih dapat melaksanakan misi dari Tuhannya, yakni Yesus Kristus.
Pengembangan itu menyangkut fasilitas: perlu penambahan ruang untuk lab, entah lab apa. Tentu saja proyek tersebut membutuhkan dana besar, di antaranya untuk “membebaskan” tanah. Pasalnya, tanah yang direncanakan untuk membangun fasilitas lab persis terletak di belakang kompleks sekolah menengah pertama milik yayasan gerejawi tersebut. Sebetulnya itu sih tidak masalah. Masalahnya ini: tanah itu sudah ada yang menghuni dan memilikinya. Di atas tanah tersebut berdiri sebuah rumah. Sudah puluhan tahun. Penghuni sekaligus pemiliknya mengatakan bahwa tanah dan rumahnya adalah warisan leluhur. Alhasil, ketika pihak yayasan yang disponsori oleh sekretaris Majelis Jemaat yang berkantong tebal karena memiliki perusahaan otobus terkemuka mendatangi si pemilik untuk membeli tanah dan rumah tersebut, mereka mendapatkan penolakan halus. Intinya, karena itu tanah dan rumah warisan, pemiliknya (yang tentunya ahli waris tanah dan rumah tersebut) tidak bersedia menjualnya – betapapun harganya.
Pendekatan demi pendekatan yang dicoba sepersuasif mungkin tetap gagal. Si penghuni sekaligus pemilik bersikukuh tidak bersedia menjual tanah dan rumahnya. Ini keramat, warisan leluhur. Pihak yayasan pun rapat, coba pikirkan jalan keluar. Rupanya, sekretaris MJ yang kaya-raya dan anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu menjadi gerah. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini merintangi pekerjaan Tuhan. Entah Tuhan yang mana yang dimaksudnya. Tentu Tuhan Yesus, begitu kata hatinya. Tapi Tuhan Yesus yang mana, mungkin tidak sama dengan Laki-laki Bersandal yang gemar njajah desa milang kori di Galilea. Atau mungkin “Tuhan Yesus” itu nama suci buat ambisi-ambisi kotor dan hasrat nafsu angkara-murka. Lalu bagaimana menghadapi “iblis” yang “merintangi pekerjaan Tuhan” itu? Boss kita ini tahu betul, iblis yang satu ini tidak takut terhadap doa, ayat-ayat Alkitab, atau tengkingan dalam nama Yesus. Iblis ini juga tidak bisa ditaklukkan dengan segepok uang ratusan juta rupiah. Tapi mungkin iblis ini, seperti halnya banyak penduduk di negeri berkota C, takut pada bedil. (Sebab, sekian lama mereka telah terpaksa hidup di bawah ancaman moncong bedil rezim fasis yang bernama Tatanan Anyar. Memang, kini Tatanan Anyar sudah berlalu, diganti dengan Era Tanpa Tatanan, meski gembong-gembong dan kroco-kroco fasis tempo doeloe terus saja berusaha untuk come back to power. Dekat-dekat Pemilu, maraklah wajah-wajah para fasis di TV, di surat-surat kabar, dan di jalan-jalan.)
Segeralah boss kita yang sekretaris MJ merangkap orang kaya raya sekaligus anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu bertindak. Percaya bahwa kemenangan anak-anak Tuhan ada di tumpukan uang dan moncong bedil, diajaknya seorang kepala polisi setempat untuk menemui iblis si ahli waris tanah dan rumah. Didatangi kepala polisi dengan pistol terselip di pinggang, si iblis mengkeret. Entah kejahatan apa yang disangkakan kepadanya, gemetar sekujur tubuhnya, juga tubuh istri dan anak-anaknya. “Sudah, jangan macam-macam. Bisa berabe nasib kalian. Sebutkan berapa banyak uang yang kalian kehendaki. Aku akan beri. Tapi jika tidak, urusanmu dengan Pak Kepala Polisi Setempat …” Mungkin karena trauma terhadap kezaliman rezim fasis Tatanan Anyar sekaligus buta-hukum, si iblis, istri, dan anak-anaknya menyerah. Disebutkanlah sejumlah uang. Tak lama kemudian, semuanya beres seberes-beresnya. Yayasan pendidikan gerejawi sekarang punya tanah persis di belakang kompleks sekolah menengah pertamanya.
Ketika para pendeta dan seluruh anggota Majelis Jemaat gereja besar itu mendengar laporan tentang keberhasilan yayasan “membebaskan” tanah tersebut, bersukacitalah mereka dan mengucap syukur kepada Allah. Gereja dan yayasan pun siap membangun ruang demi pengembangan pendidikan dalam rangka mission sacre memenangkan jiwa-jiwa tunas bangsa dan memberadabkan mereka menurut nilai-nilai kristiani yang lahir-batin sudah terjual di bawah rezim kapitalisme pendidikan. “Sungguh ajaib mukjizat Tuhan Allah itu,” kata salah seorang pendeta dalam khotbahnya saat peletakan batu pertama pembangunan ruang lab di atas tanah eks milik seorang iblis dan istri dan anaknya. Mereka sudah pindah entah ke mana. “Segala puji syukur bagi-Mu, demikianlah kami persembahkan tanah ini kepada-Mu. Berkatilah pembangunan dalam rangka pengembangan ini demi hormat dan kemuliaan bagi nama-Mu,” kata seorang pendeta lain dalam doa yang panjang lebar setelah “firman Tuhan” diwartakan. Berbagai pidato sambutan mengisi udara di siang hari bolong yang panas namun berkemenangan saat peletakan batu pertama …
“Sadhumuk bathuk, sanyari bumi, itu sikap antara manusia dengan tanahnya, tanah leluhurnya, tanah yang dititipkan Yahweh kepada mereka. Itulah sebabnya Nabot mempertahankan tanahnya sampai mati dari keinginan Ahab. Kenyataannya, Nabot memang mati sebagai orang yang terkutuk menurut tuduhan tokoh-tokoh masyarakat Israel, fatwa mati Majelis Ulama Israel, dan putusan pengadilan yang distir oleh para pemangku kekuasaan negara. Si kromo, istri, dan anak-anaknya memang tidak sampai mati seperti Nabot. Rasa takut mereka begitu besar untuk ber-sadhumuk bathuk sanyari bumi. Tapi pada dasarnya yang telah terjadi di Kota C adalah Kebun Anggur Nabot Jilid Dua!” kata Nabi Elia, pahit.
“Gereja dan yayasannya harus turut bertanggungjawab, Kanjeng Nabi,” kata Nabi Amos, dengan takzim, kepada seniornya. Nabi Hosea, Nabi Yesaya, dan Nabi Mikha, jago-jago keadilan sosial era Perjanjian Pertama, mengiyakan kata-kata peternak dan pengumpul buah ara dari Tekoa itu. Karl Marx dan Frederick Engels, yang juga hadir, berkomentar dengan prihatin, “Agama memang candu rakyat.” Kedua gembong sosialisme-ilmiah yang brewokan itu juga menyayangkan terlambat bergeraknya sebuah partai kiri yang selama ini dikenal berkomitmen kepada buruh, tani, dan kaum miskin kota. “Mereka terlambat mengetahuinya sampai beberapa saat selah kejadian itu, Karel,” kata salah seorang malaikat kepada Marx.
“Lalu di mana para pendeta, dan apa yang mereka lakukan?” tanya Rosa Luxemburg, seketika teringat tulisannya, Socialism and the Christian Churches. Dalam tulisan itu ia mengekspresikan keyakinannya bahwa Gereja Perdana dan para rasul adalah kaum komunis yang ardent, meski para gerejawan Ortodoks mati-matian membenci kaum sosialis-demokrat.
“Mereka ada di sana, dan mereka tidak berbuat apa-apa,” kata Nabot, pahit.
“Ya, mereka ada di sana. Tapi mereka bukannya tidak berbuat apa-apa. Manisnya uang dan nikmatnya berbagai fasilitas dan jaminan hidup membuat para pendeta itu terbutakan. Kesadaran palsu telah membentuk mereka. Mereka memberikan legitimasi dan justifikasi teologis. Perampasan itu dimaknai sebagai cara Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Mereka bertingkah seperti imam-imam munafik di Kenisah, yang menguduskan ketidakadilan, kelaliman, dan kesewenang-wenangan atas nama Yahweh,” kata Nabi Yesaya.
“Tapi, bukankah mereka menyebut diri sebagai hamba-hamba Yesus Kristus? Bukankah mereka berkhotbah tentang Dia dan membaptis orang yang mengaku percaya kepada-Nya?” tanya Penatua Yohanes.
“Tapi Yesus Kristus yang mana, Saudaraku? Anda sendiri pernah berkata-kata tentang kristus-kristus tetiron, bukan? Salah satu kristus tetiron adalah kristus jelmaan Mammon. Bila Yesus dari Nazaret mengadakan peperangan tanpa kompromi, bertempur hidup-mati, melawan Mammon, kristus tetiron jelmaan Mammon menghendaki para pendeta menjadi budak Mammon dalam nama Yesus Kristus,” kata Rasul Petrus, prihatin.
“Lalu, bagaimana tanggapan Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu?” tanya Rasul Paulus, yang sangat mangkel karena ajarannya, iustificatio sola fide alias “pembenaran melalui iman” diselewengkan oleh banyak orang Kristen sehingga menjadi “apapun yang kau perbuat, karena kau sudah percaya kepada Yesus Kristus, sekali selamat tetap selamat!”
“Sekarang Dia terpenjara, Bro,” kata Penatua Yohanes, sedih. Tampak matanya berkaca-kaca, memantulkan duka jiwa “murid yang dikasihi Yesus.”
“Apa? Terpenjara? Apa maksudmu, Saudaraku?” tanya Rasul Paulus, kaget.
“Yesus terpenjara justru manakala Ia dimahkotai dengan mahkota emas oleh gereja dan orang-orang Kristen, wahai Rasul Paulus,” kata Kim Chi-ha, penyair Kristen dari Korea.
“Maksudmu?” tanya Rasul Petrus, yang pengakuan imannya terhadap Yesus dari Nazaret telah menjadi fondasi berdirinya gereja. Sedikit-banyak ia merasa turut bertanggungjawab atas penyelewengan terhadap kemesiasan Yesus.
“Yesus dari Nazaret yang kita kenal adalah sosok yang menjadi ancaman bagi kekuasaan, baik agama, politik, maupun ekonomik yang tidak adil, menindas, menghisap, pendeknya tidak manusiawi. Gereja di Kota C, bahkan di banyak tempat, tidak menyukai Yesus yang seperti itu. Maka mereka meringkus Dia, memahkotai kepala-Nya yang pernah berdarah akibat kezaliman manusia dengan mahkota emas, dan memenjarakan-Nya dalam semen. Kemudian mereka menaruh-Nya di altar pemujaan yang gegap gempita. Seolah-olah mereka memuja Dia, tapi sebetulnya telah membungkam mulut-Nya dan melumpuhkan aksi-Nya yang terkenal radikal,” papar Kim Chi-ha.
“Pada saat yang sama mereka membuat Yesus Kristus yang baru, yang pro-penindasan, pro-penghisapan, pro-ketidakadilan, pro-kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Kristus tetiron inilah yang melegitimasi dan menjustifikasi kejahatan-kejahatan mereka,” kata sang dokter revolusioner Ernesto Guevara de la Serna, alias El Comandante Che Guevara.
“Jadi, saat ini Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu terbelenggu, ditawan oleh gereja dan para pemuja-Nya sendiri?” tanya Rasul Petrus, gelisah.
“Dulu,” kata Yohanes sang nabi, “Gereja di Laodikia pernah mengusir-Nya. Sampai-sampai Ia berkata, ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok…’ Sekarang mereka memenjarakan Dia dengan kemewahan.”
“Tentulah Ia merasa perlakuan ini lebih keji daripada menyalibkan-Nya,” kata penulis Surat Ibrani, yang minta kepada pers sorgawi untuk tidak menyebutkan namanya.
“Lalu apa artinya doa yang diajarkan-Nya kepada kita: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di sorga?” tanya Menno Simons, yang pedih hatinya karena sebuah gereja yang membawa-bawa namanya telah hidup dalam kekerasan dengan menggunakan uang dan bedil sebagai senjata ampuhnya.
Semua terdiam. Keheningan sarat duka meliputi ruang musyawarah para penduduk sorga. Gandhi Sang Mahatma, sang jiwa agung, bergumam, “Perlu ada lebih banyak sosok Yesus dari Nazaret di dalam dunia.”
“Sebetulnya itu tugas gereja dan orang Kristen, wahai Sang Jiwa Agung,” kata Bunda Teresa, lembut.
“Tapi begitu sosok Yesus dari Nazaret muncul dan berkiprah, seketika pula mereka akan berusaha menyingkirkannya,” kata Nabi Elia, geram namun merasa tidak berdaya.
“Itulah sebabnya revolusi belum pernah selesai, Kawam-kawan semua!” kata Marx.
Semua kembali terdiam, terpekur. Ruangan itu kembali hening. Kata-kata Marx terngiang-ngiang di telinga mereka. Banyak di antara mereka yang tidak setuju, tapi semua sadar: sukar menemukan cara lain.
Hanya ketika rakyat pekerja memiliki, menguasai, mengontrol, dan mengakses alat-alat produksi massal alias alat-alat pencipta kekayaan masyarakat secara demokratis, kukuhlah basis struktur masyarakat. Di atas basis itulah kelak akan dibangun suprastruktur rohani, etis, politik, dan budaya yang bernafaskan keadilan dan perdamaian.
“Hm, rakyat pekerja harus membebaskan Yesus dari Nazaret,” gumam Widji Thukul dan Marsinah, nyaris bersamaan. *** (Pandu Jakasurya_070309)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar