Kamis, 07 Januari 2010

MENGAPA KITA MEMBUTUHKAN TEORI MARXIS?

Butuh teori? Untuk apa? Kita tahu ada krisis. Kita tahu kita dirampok oleh majikan-majikan kita. Kita tahu kita semua marah. Kita tahu kita membutuhkan sosialisme. Lalu apa? Teori? Teori adalah jatahnya kaum intelektual semata!

Saudara sering mendengar kata-kata seperti itu baik dari kaum sosialis militan maupun kaum serikat buruh. Ironis. Sebab pandangan-pandangan seperti itu sangat didukung oleh kaum anti-sosialis. Sebabnya jelas, mereka berupaya memberi kesan bahwa Marxisme adalah sebuah ajaran yang tidak jelas, rumit, dan membosankan. Kata mereka, idea-idea sosialis itu “abstrak”. Mungkin saja idea-idea itu benar dalam teori, tetapi dalam kehidupan nyata … akal sehat memberitahu kita sesuatu yang berbeda sama sekali!

Ada problem dengan argumen-argumen tersebut: orang-orang yang mengemukakannya biasanya memiliki suatu “teori” tertentu. Ya, teori mereka sendiri. Bahkan sekalipun misalnya mereka menolak untuk mengakuinya! Ajukanlah kepada mereka pertanyaan tentang masyarakat, dan mereka akan berusaha menjawabnya dengan generalisasi yang ini atau yang itu. Contohnya:

“Menurut kodratnya, manusia itu serakah.”
“Siapapun dapat mencapai puncak jika berusaha cukup keras.”
“Bila bukan karena orang kaya, tidak akan ada uang, tidak akan ada pula lapangan pekerjaan untuk sebagian besar dari kita.”
“Bila saja kita dapat mendidik para pekerja, masyarakat akan berubah.”
“Kemerosotan moral telah membuat negeri kita jadi runyam seperti ini.”

Perhatikanlah argumen yang kerap kita dengar di jalan-jalan, di dalam bus-bus kota, di kantin-kantin. Saudara akan mendengar lusinan perkataan seperti itu. Setiap perkataan memuat suatu pandangan tentang mengapa masyarakat jadi seperti sekarang dan tentang bagaimana orang-orang dapat memperbaiki keadaan mereka. Pandangan-pandangan itu semuanya adalah “teori-teori” tentang masyarakat. Ketika orang-orang berkata bahwa mereka tidak mempunyai teori apapun, sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak atau belum mengklarifikasi pandangan-pandnagan mereka.

Secara khusus ini berbahaya bagi siapa pun yang sedang berupaya mengubah masyarakat. Sebab surat-surat kabar, radio, TV, dsb., semuanya terus-menerus mengisi pikiran kita dengan penjelasan-penjelasan tentang problem-problem masyarakat. Tentu saja kita diharapkan untuk menerima apapun yang mereka katakan tanpa berpikir lebih lanjut tentang problem-problem tersebut.

Tapi Saudara tidak dapat bertarung secara efektif untuk mengubah masyarakat kecuali Anda menyadari apa yang salah di dalam semua argumen yang berbeda-beda itu.

Pertama kali hal ini nampak sekitar satu atau dua abad yang lalu. Pada tahun-tahun 1830-an dan 1840-an, perkembangan industri di kawasan-kawasan seperti barat-laut Inggris telah menarik ratusan ribu laki-laki, perempuan, dan anak-anak ke dalam pekerjaan-pekerjaan dengan imbalan penderitaan. Mereka terpaksa menanggung kondisi-kondisi hidup yang luar biasa memprihatinkan. Mereka mulai balik melawannya melalui organisasi-organisasi massa pekerja yang pertama: serikat-serikat buruh yang pertama, dan di Inggris gerakan pertama untuk hak-hak politik para pekerja. Bersama dengan gerakan-gerakan ini ada kelompok-kelompok kecil pertama dari orang-orang yang berdedikasi untuk memenangkan sosialisme.

Problem segera muncul: bagaimana gerakan para pekerja dapat mencapai tujuannya?

Menurut beberapa orang, mungkin saja kita meyakinkan para penguasa masyarakat supaya mereka mengubah keadaan yang tidak adil itu melalui sarana-sarana damai. “Kekuatan moral” dari sebuah gerakan massa yang damai akan memastikan bahwa keuntungan-keuntungan akan diberikan kepada kaum pekerja. Ratusan ribu orang diorganisir, berdemonstrasi, dan bekerja untuk membangun sebuah gerakan yang didasarkan pada pandangan-pandangan seperti itu. Hasilnya adalah kekalahan dan demoralisasi!

Beberapa orang lainnya mengakui perlunya menggunakan “kekuatan fisik”. Tapi mereka berpikir bahwa ini “kekuatan fisik” ini harus dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan konspiratorial yang terpisah dari masyarakat. Pandangan ini membuat puluhan ribu pekerja masuk ke dalam perjuangan-perjuangan yang juga berakhir dengan kekalahan dan demoralisasi!

Beberapa orang lainnya lagi percaya bahwa kaum pekerja dapat mencapai tujuan-tujuan mereka dengan aksi-ekonomik, tanpa berkonfrontasi dengan tentara dan polisi. Pandangan ini pun menyebabkan aksi-aksi massa. Di Inggris, pada tahun 1842, pemogokan yang pertama di dunia terjadi di kawasan-kawasan industrial di sebelah utara. Puluhan ribu orang mogok selama empat minggu, sampai akhirnya mereka dipaksa kembali bekerja oleh kelaparan!

Menjelang akhir tahap pertama dari perjuangan-perjuangan yang keok itu, sosialis Jerman Karl Marx (1848) mencetuskan idea-ideanya dalam pamflet, Communist Manifesto. Idea-ideanya tidak lahir di ruang hampa. Idea-idea itu berupaya menyediakan suatu basis untuk menggumuli semua pertanyaan yang telah diajukan oleh gerakan kaum pekerja pada waktu itu.

Idea-idea yang dikembangkan Marx masih relevan hari ini. Beberapa orang memang terlalu tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa idea-idea tersebut sudah usang karena Marx menuliskannya lebih dari 150 tahun yang silam. Faktanya, semua keyakinan tentang masyarakat yang dikritisi Karl Marx masih sangat luas berterima. Sebagaimana kaum Chartis berargumen tentang “kekuatan moral” atau “kekuatan fisik”, kaum sosialis masa kini berargumen tentang “jalan parlementer” atau “jalan revolusioner”. Di antara mereka yang mengaku revolusioner argumen yang mendukung atau menentang “terorisme” masih hidup sebagaimana halnya pada tahun 1848.

Kaum Idealis

Marx bukan orang pertama yang berupaya menggambarkan apa yang salah dengan masyarakat. Pada waktu ia menulis, penemuan-penemuan baru dalam kepabrikan telah mendatangkan kekayaan dengan skala yang tak terbayangkan oleh generasi-generasi sebelumnya. Nampaknya untuk pertama kalinya umat manusia memiliki sarana-sarana untuk mempertahankan dirinya terhadap bencana-bencana alam yang telah mendatangkan kesengsaraan selama berabad-abad.

Sayangnya, ini bukan berarti perbaikan dalam kehidupan sebagian terbesar orang. Justru kebalikannya. Para laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tergiring ke pabrik-pabrik baru telah menjalani hidup yang jauh lebih buruk daripada kehidupan yang dijalani oleh nenek moyang mereka yang harus memeras keringat mengerjakan tanah. Upah mereka hanya nyaris menaruh mereka above the bread line; pengangguran massal yang kerap kali terjadi membuat mereka jatuh ke bawah garis tersebut. Mereka terjerumus ke pemukiman-pemukiman kumuh yang sangat buruk dan kotor. Tanpa sanitasi yang memadai, mereka menjadi korban wabah penyakit yang mengerikan. Alih-alih mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan umum, perkembangan peradaban memunculkan penderitaan yang lebih besar!

Bukan hanya Marx yang mencatat hal ini, tetapi juga beberapa pemikir besar pada zaman itu: orang-orang seperti penyair-penyair Inggris Blake dan Shelley, orang-orang Prancis Fourier dan Proudhon, serta para filsuf Jerman Hegel dan Feuerbach.

Hegel dan Feuerbach menggunakan istilah alienasi untuk menggambarkan keadaan tidak bahagia yang di dalamnya umat manusia menemukan dirinya. Umat manusia terus-menerus menemukan diri mereka dikuasai dan ditindas oleh apa yang telah mereka perbuat di masa lalu. Feuerbach menjelaskan: manusia telah mengembangkan idea tentang Allah, kemudian menyembahnya; ia menyembah “Allah” dengan digelayuti rasa sesal dan berdosa; sebab, ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan “ilahi” yang sebenarnya telah dibuatnya sendiri. Semakin maju masyarakat, semakin sengsaralah orang-orang yang teralienasi itu.

Dalam tulisan-tulisannya yang paling awal, Marx mengambil konsep tentang “alienasi” ini dan menerapkannya pada kehidupan orang-orang yang menciptakan kekayaan masyarakat:

Si pekerja menjadi semakin miskin, sementara kian banyak kekayaan yang dihasilkannya; semakin besar daya dan tingkatan produksinya ... Meningkatnya nilai dunia-benda terjadi dalam perbandingan-langsung dengan merosotnya nilai dunia-manusia ... Obyek yang dihasilkan oleh kerja mengkonfrontirnya sebagai sesuatu yang asing, sebagai suatu kekuatan yang independen dari si produsen …

Pada zaman Marx, penjelasan yang populer tentang “apa yang salah” dengan masyarakat masih bercorak religius. Menurut penjelasan itu, kemalangan masyarakat disebabkan oleh kegagalan umat dalam melaksanakan kehendak Allah. Andai saja kita semua “menanggalkan dosa”, segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

Pandangan yang serupa masih sering kita dengar sampai sekarang. Memang coraknya tidak selalu religius. Misalnya klaim yang mengatakan: “Untuk mengubah masyarakat, Anda pertama-tama harus mengubah dirimu sendiri.” Andai saja tiap-tiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjaga diri mereka dari “keserakahan” atau “sikap materialistis”, secara otomatis masyarakat akan menjadi lebih baik.

Senada dengan itu adalah pandangan berikut: yang penting bukan mengubah setiap orang atau semua individu dalam masyarakat, tetapi mengubah segelintir “orang kunci”, yakni orang-orang yang menjalankan kekuasaan dalam masyarakat. Gagasan dasariahnya, membuat kaum yang kaya dan yang berkuasa “melihat kebenaran”. Contohnya adalah Robert Owen, seorang sosialis Inggris. Owen mulai dengan upaya meyakinkan kaum industrialis bahwa mereka harus memperlakukan para pekerja mereka dengan lebih baik. Pandangan yang sama masih dominan sampai sekarang di kalangan para pemimpin Partai Buruh Inggris. Tidak terkecuali sayap kirinya. Mereka selalu menyebut kejahatan-kejahatan para majikan hanya sebagai “kekeliruan-kekeliruan” (mistakes). Seakan-akan sedikit argumen akan mempengaruhi bisnis-bisnis besar untuk mengendurkan cengkraman mereka terhadap rakyat jelata.

Marx menyebut pandangan-pandangan itu “idealis”. Tentu ia tidak menentang orang-orang yang mempunyai “idea-idea”. Persoalannya, pandangan-pandangan itu mengasumsikan bahwa idea-idea terpisah dari kondisi-kondisi obyektif yang di dalamnya rakyat hidup. Padahal, idea-idea secara erat terkait dengan corak kehidupan tertentu. Contohnya, “kepentingan diri sendiri” (selfishness). Dewasa ini masyarakat kapitalis membiakkan selfishness, bahkan di kalangan orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mengutamakan orang lain. Seorang pekerja yang ingin melakukan yang terbaik untuk anak-istrinya, atau memberikan tunjangan kepada orang tua mereka, mengerti bahwa satu-satunya cara adalah terus bertarung dengan orang lain: untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, waktu lembur yang lebih banyak, atau menjadi yang pertama untuk mendapatkan pekerjaan tambahan. Dalam corak kehidupan seperti itu, Saudara tidak bisa menyingkirkan “kepentingan diri sendiri” atau “keserakahan” hanya dengan mengubah pemikiran orang-perorang.

Lebih menggelikan adalah pandangan yang ingin mengubah masyarakat dengan mengubah idea-idea “orang-orang top”. Andaikan Saudara berhasil memenangkan seorang boss besar bagi idea-idea sosialis; kemudian ia berhenti mengeksploitir para pekerja. Apa yang akan terjadi? Boss itu akan mengalami kekalahan dalam persaingan dengan boss-boss pesaingnya, bahkan tersingkir dari percaturan bisnis. Bahkan berkenaan dengan orang-orang yang memangku kekuasaan dalam masyarakat, problemnya bukanlah idea-idea. Alih-alih, problemnya adalah struktur masyarakat yang di dalamnya para pemimpin itu berpegang pada idea-idea tertentu.

Poin ini dapat dikemukakan dengan cara lain. Bila idea-idea adalah pengubah masyarakat, dari manakah idea-idea itu berasal? Kita hidup di dalam suatu jenis masyarakat tertentu. Idea-idea yang dikemukakan melalui surat kabar, televisi, sistem pendidikan, dsb., membela jenis masyarakat tersebut. Bagaimana seseorang pernah sanggup untuk mengembangkan suatu idea yang sepenuhnya berbeda? Karena pengalaman-pengalaman keseharian mereka bertentangan dengan idea-idea resmi masyarakat kita.

Sebagai contoh, Saudara tidak dapat menjelaskan mengapa jauh lebih sedikit orang yang religius sekarang daripada seratus tahun yang lalu hanya dengan merujuk pada keberhasilan propaganda ateistik. Anda masih harus menjelaskan mengapa orang mendengarkan idea-idea ateistik dengan cara yang tidak mereka lakukan seratus tahun yang lalu.

Serupa dengan itu, bila Saudara ingin menjelaskan dampak “orang-orang besar”, Saudara harus menjelaskan mengapa orang-orang lain setuju untuk mengikut mereka. Tidak tepat mengatakan, misalnya, Napoleon atau Lenin telah mengubah sejarah, tanpa menjelaskan mengapa jutaan orang bersedia melakukan apa yang mereka anjurkan. Padahal, mereka bukanlah para penghipnotis massa. Sesuatu dalam hidup masyarakat pada titik tertentu menyebabkan orang-orang untuk merasa bahwa apa yang mereka anjurkan benar adanya.
Saudara hanya dapat memahami bagaimana idea-idea mengubah sejarah bila Saudara memahami dari mana idea-idea itu datang dan bagaimana orang-orang menerimanya. Itu berarti menelisik menembus idea-idea menuju kondisi-kondisi material masyarakat yang di dalamnya idea-idea itu muncul. Itu sebabnya Marx menegaskan: “Bukanlah kesadaran yang menentukan keberadaan, tetapi keberadaan sosial yang menentukan kesadaran.” *** (Disadur oleh Rudolfus Antonius)
Sumber:
Chris Harman, How Marxism Works
(London/Chicago/Sydney South: Bookmarks Publications Ltd, c.u. 2000), hlm. 9-13.
Edisi online disiapkan oleh Marc Newman

BAYANG-BAYANG KRISTUS

BAYANG-BAYANG KRISTUS*
PERSPEKTIF PEMERDEKAAN

Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi;
(ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. Kepadanya Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya.)
Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran,
dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera.
Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah,
harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan,
dan karena ia dijadikan sama dengan Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.
(Ibrani 7:1-3)


Saya kira Anda sepakat dengan saya mengenai tokoh Melkisedek. Tokoh misterius. Dalam Perjanjian Lama namanya disebut dua kali. Itupun cuma sekilas. Pertama, dalam hikayat kembalinya Abram dan pasukannya setelah mengalahkan raja-raja Timur. Abram dan Melkisedek bersua (Kej 14:18-20). Penuturannya persis seperti yang diungkapkan Ibr 7:1. Kedua, namanya disebut dalam Mzm 110:4, suatu mazmur penobatan raja: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek”. Itu saja dan itu saja. Tanpa penjelasan lebih lanjut. Di luar kedua bagian itu PL bungkam, meski tidak mustahil nama itu pernah mewarnai satu dari sekian banyak tradisi penghayatan iman Israel kuna.

Menelusuri Perjanjian Baru, nama tokoh ini juga nyaris tidak disinggung sama sekali. Kita kehilangan Melkisedek. Ketika kita membaca Surat Ibrani, barulah kita berjumpa kembali dengan Melkisedek. Perjumpaan ini pun bagi kita tidak menyingkapkan misteri Melkisedek. Kita malah makin bertanya-tanya, kelihatannya Melkisedek makin misterius. Pasalnya, Melkisedek dikaitkan dengan Yesus Kristus Tuhan kita! Yesus dikatakan sebagai imam (besar) yang ditetapkan Allah “menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 5:6; 6:20;7:11).

Kok begitu? Apa maksudnya? Oke, hal ini dapat diartikan bahwa keimaman Yesus tidak didasarkan atas imamat Harun yang Lewi itu. Bila didasarkan pada imamat Lewi, keimaman Yesus gugur. Sebab, imamat tersebut menetapkan pewarisan jabatan imam melalui keturunan. Padahal Yesus bukan keturunan Lewi. Keturunan Yehuda. Maka keimaman Yesus perlu dipikirkan dari imamat lain yang tidak berdasarkan keturunan. Dengan cerdik teolog penulis Surat Ibrani, tentunya tak lepas dari ilham Roh Kudus, menghubungkan keimaman Yesus Kristus dengan imamat Melkisedek yang memang sama sekali tidak berbicara apa-apa tentang pewarisan keimaman melalui keturunan. Lagipula, imamat Lewi yang mewarisi jabatan imam melalui keturunan itu mengandaikan kefanaan para pengemban jabatan imam! Setiap imam dalam imamat Lewi terbatas masa hidup. Padahal, dalam keyakinan teolog Surat Ibrani dan paguyuban-paguyuban gerejawi, Yesus Kristus pasca-Paska hidup selamanya! Sekali lagi, sang teolog dengan cerdik ilham Roh Kudus, menengok imamat Melkisedek yang tidak berbicara eksplisit implisit tentang keterbatasan waktui si pengemban jabatan imam. Pendeknya, keimaman Yesus Kristus sah bahkan melampaui keimaman siapa pun yang berada dalam imamat Lewi.


Teofani?

Itulah kiranya yang dimaksudkan teolog Surat Ibrani. Meskipun demikian toh Melkisedek tetap misterius. Apalagi Ibr 7:1-3 yang melukiskan Melkisedek sedemikian rupa dalam kesejajaran tentang Kristus. Lihat saja, “raja kebenaran,…raja damai sejahtera…, tidak berbapa tidak beribu: tidak bersilsilah; harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”. Tak heran bila ada orang yang berpendapat bahwa Melkisedek merupakan teofani (theos: Allah; fanein: penampakan, penyingkapan. Teofani=penampakan ilahi) Kristus dalam PL! Tapi masalahnya, penuturan tentang Melkisedek dalam Kej 14:18-20 justru memberi kesan bahwa Melkisedek adalah tokoh bumiah manusiawi. Ia adalah seorang imam El-elyon (Allah Yang Mahatinggi)! Artinya, ia adalah seorang yang, di samping sebagai raja, berprofesi melayani manusia (bangsa-bangsa penghuni Kanaan) dalam pemujaan kepada El-elyon alias Allah Yang Mahatinggi. Itu berarti tidak cuma sekali muncul kemudian lenyap pulang ke kahyangan. Padahal teofani alias penampakan ilahi, demikian menurut dogmatika, hanya muncul momentarily, beda dengan inkarnasi.

Dalam pada itu kita tidak akan menganggap Melkisedek sebagai inkarnasi Anak Allah, bukan? Sebab, bukankah inkarnasi merupakan pewahyuan ilahi yang final? Seperti dikatakan oleh teolog Surat Ibrani dalam mukadimah risalahnya: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya…”(Ibr 1:1-2). Jadi, Melkisedek bukan teofani Kristus apalagi inkarnasi-Nya.

Bayang-bayang Kristus

Jadi bagaimana? Melkisedek adalah Melkisedek. Menurut pendapat saya tidak ada hubungan langsung antara Melkisedek dengan Kristus. Hubungan yang sekarang dikemukakan oleh teolog Surat Ibrani merupakan penafsiran berdasarkan penghayatan dan refleksinya atas realitas Yesus sebagai Kristus-Tuhan-yang-bangkit. Dengan terang penghayatan dan refleksi itu teolog Surat Ibrani menafsirkan makna sosok Melkisedek dalam kerangka sejarah keselamatan ilahi yang kristosentris. Di dalam sosok Melkisedek ditemukannya citra-citra tertentu yang secara sempurna mengejawantah dalam diri Yesus Kristus. Melkisedek menjadi model bagi aspek tertentu dari diri Yesus Kristus, atau katakanlah bayang-bayang Kristus. Bukankah sang teolog sendiri mengatakan “ia dijadikan sama dengan Allah” (atau lebih baik: “ia diibaratkan sebagai Anak Allah”)? Penafsiran semacam ini disebut penafsiran tipologis.

Berdasarkan hal di atas kita akan menelaah ungkapan-ungkapan “raja kebenaran,…raja damai sejahtera,…tidak berayah tidak beribu: tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”.

Keadilan dan Perdamaian

Pertama, Melkisedek disebut bayang-bayang Kristus berdasarkan nama dan kedudukannya. “Melkisedek” (Ibr. melek=raja; tsedek=kebenaran, dalam arti keadilan) berarti “raja keadilan”. Berdasarkan nama ini sang teolog coba memahami jiwa-semangat dan karya atau perjuangan Melkisedek, sementara ia meyakini bahwa di dalam Yesus Kristus jiwa-semangat dan karya atau perjuangan itu sempurna adanya. Melkisedek adalah raja keadilan alias raja yang adil. Artinya, di dalam dirinya jiwa dan semangat yang dipenuhi keadilan menyatu dengan karya atau perjuangannya untuk menjadikan itu menjadi kenyataan. Kemudian teolog Surat Ibrani menafsirkan kedudukan Melkisedek. Si “raja keadilan” alias “raja yang adil’ ini ternyata juga “raja Salem”. Tidak muskil "Salem" di sini merupakan nama kuno dari kota Yerusalem. Tapi sang teolog tidak menaruh perhatian pada lokasi geografis atau asal-usul historis Yerusalem atau Salem. Yang menjadi minatnya adalah arti nama kota itu. Salem berarti damai sejahtera, situasi damai, atau perdamaian. Nah, Melkisedek si raja Salem dipahami sebagai raja damai sejahtera atau raja perdamaian. Jiwa dan semangatnya dipenuhi dengan kecintaan akan perdamaian atau damai sejahtera bangsa atau umat yang dipimpinnya. Dalam pada itu pemerintahannya ditandai dengan upaya mewujudkan perdamaian itu. Nah, bila Melkisedek disebut sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal keadilan dan perdamaian, bukankah kita diingatkan bahwa Yesus Kristus adalah Raja Damai yang di atas takhta dan kerajaan-Nya “damai sejahtera tidak akan berkesudahan”, karena Ia mendasarkan dan mengokohkan takhta dan kerajaan-Nya “dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya” (Yes 9:8-9)?

Ada hal yang menarik dalam tipologi ini, yakni keadilan dan perdamaian disebutkan bersama-sama. Ini mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian tidak terpisahkan. Dalam suatu masyarakat, tegaknya keadilan membuahkan damai sejahtera atau perdamaian sejati dalam kehidupan masyarakat itu. Sebaliknya, perdamaian sejati hanya mungkin tercipta bila keadilan diberlakukan bagi segenap anggota masyarakat. Dalam hal ini kita perlu merenungkan kondisi masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk negeri kita Indonesia. Dalam kondisi masyarakat yang penuh ketegangan bahkan konflik yang bukan saja membawa kerugian materi tetapi juga banyak meminta korban jiwa manusia, terdengar suara-suara yang menyerukan perdamaian. Pihak-pihak yang bertikai dihimbau bahkan didesak untuk mengupayakan perdamaian. Lewat berbagai cara, termasuk lewat iklan layanan masyarakat di media massa, masyarakat coba diyakinkan bahwa tanpa perdamaian manusia melulu dirugikan. Ini baik. Tapi tidak cukup. Cara berpikirnya melulu bertitik tolak dari akibat yang merugikan dari ketegangan dan konflik. Hal yang lebih hakiki, yakni keadilan seharusnya tidak diabaikan. Ketidakadilanlah hakikat ketegangan dan konflik. Suatu masyarakat yang kelihatan tenang-tenang saja sementara ketidakadilan merajalela terutama kemenangan yang tidak adil dari pihak yang berkuasa, bukanlah masyarakat yang berdamai sejahtera. Suasananya ibarat api dalam sekam. Bila ditiup angin, api itu akan berkobar melalap sekam. Dan itu tinggal menunggu waktu. Atau ibarat gunung vulkanik yang magmanya tinggal menunggu waktu untuk meledak keluar sementara desakan dari perut bumi kian kuat mahadahsyat. Tak heran bila, sebagai contoh, masyarakat Indonesia yang dikenal santun ramah berbudaya dibayang-bayangi amok massa beringas brutal biadab vandalistis secara beruntun sejak beberapa waktu terakhir ini. Ketidakadilan sudah begitu lama bercokol di negeri ini, dan itu di-back up kekuatan penguasa yang represif dengan militernya. Menciptakan perdamaian dalam situasi konflik mengandaikan upaya rekonsiliasi (pendamaian). Tapi rekonsiliasi muskil tanpa tindak penegakan keadilan. Hasrat akan keadilan merupakan salah satu unsur hakiki perikemanusiaan selain cinta dan belarasa.

Berkaitan dengan hal ini kita juga perlu merenungkan perjuangan orang-orang yang berusaha menegakkan keadilan demi terwujudnya perdamaian. Tidak sedikit di antara mereka mati demi perjuangan yang luhur itu. Seperti halnya Tuhan kita Yesus Kristus. Kita dapat menyebut Pastor Jon Bosco di Brasil, Pastor Camillo Torres di Columbia, Pastor Rutillo Grande dan Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero di El Salvador. Mahatma Gandhi. Semuanya martir demi keadilan dan perdamaian. Kita dapat juga menyebut Karl Marx. Memang ia ateis. Ia juga mati secara wajar. Tapi perjuangannya jelas lagi konsisten, betapapun ateistisnya ia. Agaknya tidak berlebihan bila orang-orang ini, selain Melkisedek, juga disebut sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal perjuangan keadilan dan perdamaian. Masih banyak lagi. Bahkan pada masa kita sekarang ini. Panggilan kristiani menyerukan supaya kita tidak menjauhkan mereka dari kita, atau menjauhkan diri kita dari mereka. Orang-orang kristen harus bekerjasama dengan setiap orang yang berkehendak baik demi tegaknya keadilan dan terwujudnya perdamaian.

Kehinaan

Kedua, Melkisedek disebut bayang-bayang Kristus berdasarkan asal-usul keluarganya. Kata teolog Surat Ibrani, ia tidak berayah tidak beribu, pendeknya tidak bersilsilah. Lagi-lagi kita melihat kecerdikan sang teolog dalam berargumen. Memang dalam PL tidak satupun terdapat informasi tentang ayah ibu apalagi silsilah Melkisedek. Hal ini kemudian ditafsirkan ia tidak berayah tidak beribu tidak bersilsilah. Barangkali persoalan yang cukup serius bagi sang teolog adalah mengapa tokoh yang dijadikannya tipologi alias bayang-bayang Kristus ini tidak memiliki silsilah. Jawabannya bisa amat sederhana: Melkisedek cuma tampil sekilas dan tidak memainkan peranan yang amat mencolok seperti Abaraham, Musa, Daud dan lain-lainnya. Namun dalam rangka berkristologi, keadaan tidak bersilsilah-nya Melkisedek menyiratkan jawaban yang amat menarik. Tidak bersilsilah menunjukkan betapa hinanya seseorang. Bisa jadi: anak haram. Atau: orang yang terbuang dari kelurga, tersingkirkan dari ikatan keluarga. Pendeknya, terhina ternista di mata manusia.

Dalam pada itu, Allah yang diwartakan Alkitab adalah Allah yang berdiri di pihak orang terbuang dan nista terhina! Ia membela mereka bahkan memuliakan mereka. Sebab, bukankah biasanya orang-orang yang hina itu yang berserah kepada-Nya dengan segenap percaya? Sebaliknya, orang-orang yang mulia agung megah jayawijaya kerap kali sombong di hadapan Allah, mengklaim bahwa mereka sendirilah penentu hidup mati mereka. Bahkan tak jarang di antara mereka menindas orang-orang lemah miskin tertindas dan melecehkan kaum terhina. Allah menentang mereka. Magnificat alias nyanyian pujian Maria memegahkan sikap Allah yang demikian (Luk 1:46-55).

Contoh paling akbar tentang hal ini adalah Yesus dari Nazaret sendiri. Bukankah di sepanjang hidup-Nya Ia kenyang dengan nista cemooh bahkan aniaya sampai mati dalam keadaan yang amat terhina? Bagaimana dengan ucapan orang-orang Yahudi, “Kami tidak dilahirkan dari zinah.”(Yoh 8:41)? Bukankah itu merupakan sindiran mereka tentang Yesus? Menurut mereka Yesus lahir dari zinah. Fitnah. Penghinaan. Fitnah dan penistaan yang lebih besar lagi menimpa Yesus Kristus. Dalam pada itu Yesus tetap setia melaksanakan kehendak Allah, Bapa-Nya, yakni mewartakan sabda gembira pemerdekaan. Sampai mati karena kekerasan yang berskenario, konspiratif. Dan memang, Allah berpihak pada-Nya. Ia membangkitkan Yesus dari kematian. Ia amat meninggikan Dia dengan menjadikan-Nya Tuhan dan Kristus! (Kis 2:36).

Jadi, Melkisedek adalah bayang-bayang Kristus karena kehinaannya. Kehinaan yang pada gilirannya akan diubah Allah menjadi kemuliaan. Sampai di sini kita perlu merenungkan sosok-sosok selain Melkisedek yang hina dalam pandangan manusia. Hina karena kemiskinan mereka, kemiskinan yang sebetulnya lebih banyak disebabkan oleh sistem yang tidak adil. Dosa struktural. Atau mereka yang hina dina karena cacat penyakitan, kurang bahkan tidak berpendidikan sehingga bodoh dibodohi rentan menjadi korban pembodohan. Atau mereka yang dianggap sampah masyarakat karena profesi mereka, sementara masyarakat tidak mengutuk orang-orang yang memanfaatkan jasa profesi mereka. Sebutlah perempuan-perempuan yang disebut pelacur, wts, pramunikmat dan sederet sebutan yang menyiratkan dehumanisasi oleh masyarakat atas mereka sebagai pribadi-pribadi manusiawi. Yang lain, karena pekerjaan rendah meskipun tidak menyalahi moral, seperti pembantu rumah tangga, penarik becak, pemulung, pengamen, pedagang asongan, penyemir sepatu. Yang lain lagi, orang-orang yang malang karena kejahatan, baik yang mereka lakukan maupun yang memangsa mereka sebagai korban. Orang-orang terpenjara. Baik penjara fisik Lembaga Pemasyarakatan, maupun penjara hidup seperti keterikatan pada narkoba. Mereka hina di mata masyarakat. Tapi mereka bayang-bayang Kristus. Bila mereka datang menghampiri Allah yang berbelarasa, bukankah Ia akan mengangkat mereka? Dalam hal ini ada panggilan bagi kita untuk melayani mereka dengan jiwa dan semangat melayani Kristus. Bukankah Tuhan-yang-bangkit itu kelak akan bersabda:”Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan bagi salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).

Pelaku Sejarah Keselamatan

Ketiga, Melkisedek dikatakan sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal “harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”. Kita dapat segera menafsirkan bahwa Melkisedek kekal. Tapi sekali lagi kita melihat kecerdikan ilhami teolog Surat Ibrani. Jelas bahwa dalam PL tidak ada keterangan sama sekali tentang riwayat masa kecil, remaja, pemuda, dewasa maupun wafatnya Melkisedek. Hal ini ditafsirkannya dalam rangka berkristologi tipologis: tidak berawal tidak berakhir. Nah, bukankah Yesus Kristus tidak berawal tidak berakhir Alfa dan Omega? (Why 1:17; 2:8; 22:2). Yesus Kristus jelas demikian. Namun hal itu harus direnungkan dalam rangka state of exaltation-Nya dengan mengaitkannya dengan the state of humiliation-Nya. Tidak berawal tidak berkesudahan dapat dipahami dalam kaitannya dengan sejarah. Dalam sejarah peradaban manusia hingga kini, kita tahu bahwa yang dicatat di sana adalah orang-orang terkemuka yang dikenal sebagai subjek-subjek sejarah. Sejarah tidak mencatat orang-orang kecil yang oleh para penguasa sering diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek atau pelaku atau penentu sejarah. Peran mereka dalam sejarah peradaban manusia tidak dipandang sebelah matapun. Namun sejarah mereka tidak berawal tidak berakhir, kekal. Sejarah keselamatan! Allah melibatkan orang-orang yang dianggap tidak signifikan dalam sejarah yang ditulis dalam rangka suatu peradaban yang ditandai oleh tampilnya orang-orang besar. Melibatkan mereka untuk mewujudkan rencana penyelamatan-Nya! Melkisedek, yang dalam PL hanya tampil untuk “setor muka” ternyata memiliki makna dalam sejarah keselamatan. Ia menjadi tipologi, bayang-bayang Kristus. Ya, Kristus yang dalam pandangan manusia juga tidak signifikan. Baik catatan Josephus, Tacitus maupun Plinius Muda tidak menganggap peristiwa Yesus signifikan. Tapi lain halnya bagi Allah! Peristiwa Yesus malah merupakan puncak Heilsgeschichte!

Di sini kita dapat merenungkan begitu banyak orang sederhana yang dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya! Orang-orang yang berdoa bagi pekerjaan Allah. Nenek-ibu yang tiap hari dengan setia menekuk lutut di hadapan Tuhan untuk mendoakan gereja, abdi-abdi-Nya. Orang tua yang mati-matian mendidik anak-anak mereka dengan teladan, disiplin, dan doa berurai air mata demi keselamatan dan kesungguhan hidup kristiani anak itu-anak! Kita dapat menyebut Monica, ibu dari Augustinus muda yang cerdas jenius tapi bejat moral. Dengan ayah yang rusak moral, Agustinus menjalani hidup yang rusak juga. Hidup dalam zinah, kemabukan dan sebagainya. Puluhan tahun Monica berdoa berurai air mata supaya anaknya diselamatkan. Akhirnya Allah menjawab doa Monica. Bahkan lebih dari itu, Augustinus (374-430 M) menjadi teolog besar yang berkontribusi besar dan dihormati baik oleh Gereja Katolik Roma maupun Gereja Reformasi. Di mata Allah, Monica adalah subjek atau pelaku sejarah keselamatan. Semua orang sederhana yang ambil bagian sekecil apapun itu dalam pekerjaan Allah adalah pelaku sejarah keselamatan. Hari-hari mereka tidak berawal tidak berakhir, tercatat dalam kitab kehidupan!

Penutup

Melkisedek yang misterius itu adalah bayang-bayang Kristus, yakni dalam jiwa-semangat dan kiprahnya bagi tegaknya keadilan dan perdamaian, kehinaannya, dan perannya dalam sejarah keselamatan. Bila direnungkan lebih lanjut, ternyata ada orang-orang lain di seluruh dunia di sepanjang zaman yang dalam satu dua hal menjadi bayang-bayang Kristus. Sebagai pengikut bahkan pemuja Tuhan Yesus Kristus, kiranya kita juga dapat menjadi bayang-bayang Kristus, atau dalam istilah lain, menjadi citra Kristus. Sebab, memang itulah tujuan penyelamatan kita. Seperti ditulis Rasul Paulus: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Rom 8:29).*** (Rudolfus Antonius_211099)



* Gagasan pokok artikel ini telah disampaikan dalam Kebaktian Minggu GKMI Kudus cabang Kaliwungu, 10 Oktober 1999 pk. 16.30 WIB, dengan judul Antara Bayangan dan Kenyataan.

MENGAPA PENDETA HARUS LEBIH MENCINTAI ORANG MISKIN?

“Biasanya,” kata temanku, “para pendeta lebih dekat dengan anggota jemaatnya yang kaya daripada dengan yang miskin.” Aku mengerutkan dahi.

“Coba pikir,” lanjut temanku, “siapa yang lebih sering di-bezoek pendeta: orang kaya atau orang miskin? Siapa yang lebih mudah menerima senyum ramah, tatapan mata simpatik, dan jabat-tangan hangat darinya: orang kaya atau orang miskin? Lantas siapa yang lebih berpeluang luput dari siasat (disiplin) gereja kalau bertindak asusila: orang kaya atau orang miskin?”

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengaku: ya, orang kaya. Meski dengan agak tersinggung, tentunya.

“Kau pasti sudah dapat menduganya! Kau ‘kan pendeta, Kawan!” katanya sambil menudingku.

Aku tersenyum, agak dipaksakan. Tapi coba kutahan diriku untuk tidak buru-buru berkomentar. Bukankah Yakobus berpesan agar “para guru” (baca: para pendeta) cepat mendengar namun lambat bicara? Artinya, tanggap menyimak sehingga mengerti betul suatu duduk perkara, pula jangan sembrono alias asal bicara.

“Tentu ini bukan tanpa sebab,” lagi temanku, “dan sepertinya itu sangat manusiawi.”

Maksudnya?

“Bukankah pada umumnya anggota jemaat yang kaya-lah yang paling berkontribusi bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan operasional gereja? Pendeta, sebagai orang yang konon mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, ‘harus’ hidup dari sokongan jemaat. ‘Janganlah memberangus lembu yang mengirik,’ kata Rasul Paulus; ‘setiap pekerja layak memperoleh upahnya,’ begitu lanjutnya. Tapi apa yang dapat diberikan anggota jemaat yang miskin selain uang persembahan yang sedikit dan berbagai keluhan yang tak jarang ujung-ujungnya bermuara pada minta bantuan kepada pendeta atau gereja? Tapi lihat orang kaya. Kendati kadang masalahnya pelik, misalnya minta gereja untuk segera menikahkan anak putrinya yang sudah hamil guna mengurangi aib keluarga, toh besar pula sumbangsih material-finansialnya bagi gereja dan pendeta. Bukan hanya persembahan mingguan, perpuluhan … tapi juga berbagai bonus Natal dan Tahun Baru serta persembahan –persembahan syukur …”

“Nah, kalau pendeta lebih peduli kepada orang kaya, sangat wajar bukan? Manusiawi! Ada mekanisme utang budi di sana …”

“Tapi benarkah demikian, maksudnya, benarkah sikap pendeta yang seperti itu manusiawi? Benarkan ada mekanisme utang budi di sana?”

“Sepintas manusiawi,” ujar temanku. “Tapi, sekali lagi, se-pin-tas. Dengan kata lain: sesungguhnya sangat tidak manusiawi. Kok bisa? Sebentar, insya Allah akan kujelaskan. Soal mekanisme utang budi, memang ya. Tapi pihak-pihak mana saja yang sebenarnya terlibat dalam mekanisme tersebut?”

“Baik, akan saya dengarkan,” kataku dengan agak getir. Betapa tidak, ia mau me-ngonceki sikap pendeta! Padahal, aku juga pendeta …

“Soal manusiawi tidak manusiawi dan soal utang budi. Betulkah orang kaya lebih besar berkontribusi kepada gereja dan pendeta daripada orang miskin? Secara ‘kasat mata’ ya.”

Kok pakai istilah ‘kasat mata’?

“Ini ungkapan ironis, Bung. Bukankah dari tangan orang kayalah gereja menerima persembahan, baik perpuluhan, syukuran, maupun minggun? Bukankah dari tangan orang kaya pendeta menerima uang dan berbagai bingkisan berlabel rohani? Tapi dari tangan tidak sama dengan sumber atau asal-muasal dari pemberian itu. Ya, dari tangan berarti dengan perantaraan. Dengan kata lain, orang kaya hanyalah pengantara, bukan pemberi sesungguhnya.”

Lalu, siapa pemberi sesungguhnya? Tuhan atau Allah Bapa kita dalam Yesus Kristus.

“Jawaban yang benar. Tapi benar tidak sama dengan benar. Padahal jawaban yang benar tapi tidak sama dengan benar adalah jawaban klise, bahkan ideologis dan munafik. Kok bisa? Ya, Tuhan dibawa-bawa untuk membenarkan eksploitasi alias penghisapan. Coba pikirkan dari mana orang kaya mendapatkan kekayaannya. Dari bekerja keras? Mungkin. Tapi apa bisa ia menghasilkan kekayaan dengan cucuran keringatnya sendiri? Bahkan andaikata ia memiliki mesin-mesin manufaktur yang tercanggih, ia tetap membutuhkan manusia-manusia yang lain untuk mengoperasikannya. Andaikata ia memiliki sekian banyak unit bus super-mewah, ia masih membutuhkan sopir dan kondektur untuk menjalankannya. Tanpa itu bisakah orang kaya mendapatkan uang dengan mesin-mesin canggih dan bus-bus mewahnya? Tentu saja tidak! Kalau begitu, bukankah keuntungan yang didapat orang kaya dari mesin-mesin canggih atau bus-bus mewahnya berasal dari kerja manusia-manusia lain, yakni buruh atau sopir-kondektur yang dipekerjakannya?”

“Tapi … bukankah ia telah mengeluarkan modal untuk mengadakan mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk beaya perawatan dan perbaikan bahkan penggantian terhadap mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan beaya untuk membeli bahan bakar, bukankah ia harus membayar pajak kepada pemerintah, bukankah ia harus membayar uang keamanan baik kepada para preman berseragam maupun kepada preman-preman lainnya? Lagipula … bukankah ia juga harus membayar gaji kepada para buruh atau sopir-kondekturnya?” kini giliranku nyerocos memberondong temanku yang makin memojokkan orang kaya di hadapanku. Aku tidak terima, karena sebenarnya aku juga merasa terpojok karena …

“Itu semua benar, Bung!” kilah temanku, “tapi perhatikan: dari mana dana untuk menutup semua beaya itu?”

“Dari kerja para buruh atau sopir-kondektur! Dengan kata lain, hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur dipergunakan oleh orang kaya, majikan mereka itu, untuk menutup semua beaya itu dan juga … memberikan keuntungan bagi orang kaya tersebut.”

“Pikiran gila!” seruku, tertahan, “tapi … itu benar.” Aku terhenyak tak berdaya. Temanku menatapku dalam-dalam. Ia tersenyum, tapi bukan senyum kemenangan. Senyum getir kesedihan.

“Kau mengerti sekarang? Para buruh atau sopir-kondektur bekerja bagi orang kaya. Mereka sendiri mendapatkan sebagian kecil dari hasil kerja mereka. Kita menyebutnya upah atau gaji atau honorarium. Hasil selebihnya diambil untuk membeayai berbagai kebutuhan dan mengisi pundit-pundi si majikan, orang kaya itu, sebagai keuntungan. Bagian hasil yang tidak dibayarkan si majikan kepada para buruh atau sopir-kondektur itu adalah surplus-value atau nilai-lebih, Kawanku.”

“Padahal … dari keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi orang kaya itulah aku mendapatkan ‘persembahan kasih’ berupaya uang berbagai bingkisan …” kataku dengan lemah.

“Dengan kata lain, kau menerima manisnya uang dan nikmatnya bingkisan dari hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur.”

“Ya, aku mendapatkan ini-itu dari orang kaya dari hasil penghisapan. Logikanya, aku berpartisipasi dalam penghisapan orang kaya terhadap para buruh atau sopir-kondektur, meski mungkin tidak secara langsung,” kataku kian lemah.

“Kalau begitu, kepada siapakah sebenarnya kau dan para pendeta lainnya berutang budi? Kepada orang kaya yang memberimu uang dan berbagai bingkisan?”

“Bukan, bukan kepada orang kaya. Sesungguhnya dari tangan mereka aku menerima uang dan bingkisan, tapi sebenarnya aku memperoleh semuanya itu dari kaum buruh atau sopir-kondektur. Ya, aku berutang kepada kaum buruh atau sopir-kondektur.”

“Jika kau berutang budi kepada kaum buruh dan sopir-kondektur, bahkan andaikata mereka bukan orang Kristen sekalipun, manusiawikah kau dan para pendeta lainnya bila kau lebih peduli kepada orang kaya, yang hidup dari penghisapan, daripada kepada mereka?”

“Tentu kian besarlah dosaku jika aku yang menikmati hasil penghisapan terhadap kaum buruh atau sopir-kondektur malah lebih mempedulikan penghisap-penghisap mereka daripada mereka yang terhisap.”

“Padahal utang budi dibawa mati. Sudah seharusnya kau dan para pendeta lainnya lebih mencintai kaum buruh atau sopir-kondektur. Kau harus berpihak kepada mereka. Sedapat mungkin, belalah mereka, perjuangkanlah hak-hak mereka. Seperti halnya dirimu dan orang kaya, mereka berhak atas kehidupan yang manusiawi. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa nilai kemanusiaan sangat tinggi karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah?”

Dia benar. Aku setuju. Tapi bagaimana dengan orang miskin yang menjadi anggota jemaatku tapi tidak menjadi buruh atau sopir-kondektur orang kaya yang jadi anggota jemaatku?

“Kalau orang miskin itu buruh atau sopir-kondektur dari orang kaya lain yang bukan anggota jemaatmu, toh ia tetap terhisap. Ia dihisap oleh boss mereka. Ia hanya dapat sisa, sebagian kecil dari hasil kerjanya. Ia belanjakan itu untuk mempertahankan hidupnya. Tapi kau tahu bukan, orang miskin itu memberikan persembahan? Memang sedikit, tidak sebanding dengan pemberian orang kaya. Tapi toh ia memberi … memberi dari kekurangannya. Betapa tidak: ia mendapatkan kurang, bahkan sangat kurang, dari keseluruhan yang dihasilkannya. Tapi ia masih atau tetap memberi. Betapa terkutuknya dirimu jika meremehkan atau mengabaikan hal itu. Padahal kau pun hidup dari pemberiannya!”

“Kau benar. Kami para pendeta benar-benar hidup dari penghisapan. Dalam kasus pertama, sehubungan dengan orang kaya, kami mendapat bagian yang lumayan besar dari hasil penghisapan para boss dari para buruh atau sopir-direkturnya (meski mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi para boss). Dalam kasus yang kedua, sehubungan dengan orang miskin, kami mendapatkan bagian dari sebagian kecil hasi kerjanya. Dalam kasus pertama aku menerima bagian dari hasil penghisapan, sedangkan dalam kasus kedua aku menghisap dari bagian yang disisihkan para boss sebagai upah atau gaji orang miskin. Bila kami, para pendeta, tidak solider dengan orang miskin, betapa celakanya kami di hadapan Allah.”

“Lalu bagaimana dengan orang miskin yang tidak dihisap oleh majikan manapun, tapi warungan atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya? Sehubungan dengan orang miskin yang buka warung, bukankah sangat jelas kau menerima bagian dari pendapatannya berjualan? Berkenaan dengan para pembantu rumah tangga, siapa bilang ia tidak dihisap? Kelihatannya memang tidak, toh pekerjaannya bukan pekerjaan produktif, wealth-creating works?”

“Tapi coba pikir, si tuan atau si nyonya majikan bisa melakukan ini-itu karena ada pembantu rumah tangga. Si nyonya dan si tuan bisa mencari uang. Bukankah itu karena waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas domestik sudah ditangani oleh pembantu rumah tangga? Jika tidak, bagaimana jadinya? Bila pemasukan atau pendapatan mereka bertambah, bukankah itu karena ada orang-orang yang “menyelamatkan” waktu-waktu mereka dari tugas-tugas mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, mengasuh anak … yang sebenarnya merupakan tugas-tugas dari si tuan dan si nyonya, suami-istri itu?”

“Bahkan, andaikata kita tidak bicara tentang pemasukan dalam pengertian mendapatkan uang lebih banyak pun, tuan dan nyonya (juga anak-anak mereka) berutang waktu luang kepada pembantu rumah tangga. Nyonya-nyonya dan tuan-tuan dapat bersantai, arisan, aerobik, mengembangkan diri, “melayani Tuhan” di gereja karena waktu luang mereka diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga.”

“Tapi bukankah untuk itu tuan dan nyonya membayar atau mengupah para pembantu rumah tangga mereka? Itu benar. Tapi adil-manusiawikah upah atau bayaran atau gaji itu? Seberapa besar dari jumlah yang didapatkan si tuan dan si nyonya? Dalam besaran uang, semakin besar upah, semakin kecil penghisapan; demikian juga sebaliknya, semakin kecil upah, semakin besar penghisapan. Keduanya berbanding lurus dengan jumlah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga. Waktu yang produktif bagi tuan-tuan dan nyonya adalah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga melalui pekerjaa domestik mereka.”

“Di samping itu, toh adil-manusiawi bukan hanya soal upah materiil. Apakah tuan-tuan dan nyonya-nyonya itu memperlakukan para pembantu rumah tangga secara manusiawi? Apakah para majikan itu memberi peluang, bantuan dana, dan dorongan bagi para pembantu rumah tangga, sehingga para pembantu rumah tangga itu dapat mengisi waktu luang mereka sendiri untuk mengembangkan diri, beraktualisasi, dan menikmati kehidupan yang manusiawi? Terpikirkah kau, Pak Pendeta, untuk mendorong orang-orang kaya yang menjadi anggota-anggota jemaatmu agar mereka menyekolahkan para pembantu rumah tangga mereka? Tidak semestinya kau berpikir ‘pembantu rumah tangga’ sebagai pekerjaan seumur hidup. Kau tidak percaya nasib atau takdir bukan? Mereka yang kini menjadi pembantu rumah tangga berhak atas masa depan yang lebih berkembang daripada yang sekarang. Bukan supaya mereka kelak menghisap orang lain, tapi berdasarkan keberpihakanmu kepada mereka dan kesadaran tuan-tuan dan nyonya-nyonya mereka, mereka bisa juga memperlakukan siapa saja secara manusiawi.”

Aku terpekur. Teringat olehku para pembantu rumah tangga yang menjadi anggota-anggota jemaatku. Setiap peser uang yang mereka persembahkan membayangkan penghisapan atas mereka. Bila aku tidak berpihak kepada mereka, tidak pantaskah aku terkutuk sebagai orang yang tak tahu berterimakasih? Misteri ilahi, gumamku, Tuhan memelihara hamba-hamba-Nya melalui mekanisme penghisapan. Tentu bukan tanpa tujuan: yakni supaya aku solider, bersetiakawan dengan mereka. Turut hadir dalam penderitaan dan sukacita mereka. Membela mereka, berjuang bersama dengan mereka – demi suatu masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi. Sebuah masa depan dengan struktur masyarakat yang demokratis, baik secara politis maupun ekonomis. Suatu masa depan tanpa exploitation de l'homme par l'homme, tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.

Tiba-tiba kata-kata Yesus bergema di dalam hatiku, bergema dengan suatu pengertian yang baru:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya (Mrk 12.43-44).”

Mengapa para pendeta, termasuk aku, harus lebih mencintai orang miskin? Karena mereka berutang budi kepada orang miskin. Utang budi dibawa mati. Itulah yang manusiawi. *** (Rudolfus Antonius_060309)





KEBUN ANGGUR NABOT JILID DUA

Musyawarah itu menghangat. Pasalnya Nabi Elia sangat marah. Tadi ia mendengar kabar dari para malaikat yang baru pulang dari perjalanan menjelajahi bumi. Kabar apa? Bukan kabar yang menyenangkan. Sebaliknya, sangat mengecewakan bahkan membangkitkan kemarahannya. Nabi yang tersohor anti-Baalisme dan musuh bebuyutan penguasa yang korup itu mendapat kabar begini:

Ada sebuah gereja di sebuah kota. Sebutlah Kota H. Sebagaimana tercantum di papan namanya, gereja itu berasaskan Mennonite. Jadi, tergolong dalam historic peace churches. Itu gereja besar, di seantero kota C gedung-gedungnya paling megah-mewah-mahal. Itu bukan gereja sembarangan, orang-orang Kristen yang kaya-raya dan berpengaruh berjemaat di gereja tersebut. Pengusaha ini, pengusaha itu; manajer di perusahaan ini, boss di perusahaan itu. Lagipula karena harmonis hubungannya dengan penguasa setempat – baik aparat resmi maupun para preman – gereja itu selalu aman dari berbagai gangguan. Maklumlah, uang bisa mengamankan nyaris segalanya.

Gereja tersebut memiliki rumah sakit dan sekolah. Rumah sakitnya tergolong paling bagus kualitasnya di kota C, sedangkan sekolahnya pas-pasan mutunya. Suatu ketika, pihak yayasan berniat mengembangkan sekolah agar mampu bersaing di bursa pendidikan (sebab pendidikan di negeri yang berkota C semakin kapitalistis). Bahasa rohaninya: agar sekolah lebih dapat melaksanakan misi dari Tuhannya, yakni Yesus Kristus.

Pengembangan itu menyangkut fasilitas: perlu penambahan ruang untuk lab, entah lab apa. Tentu saja proyek tersebut membutuhkan dana besar, di antaranya untuk “membebaskan” tanah. Pasalnya, tanah yang direncanakan untuk membangun fasilitas lab persis terletak di belakang kompleks sekolah menengah pertama milik yayasan gerejawi tersebut. Sebetulnya itu sih tidak masalah. Masalahnya ini: tanah itu sudah ada yang menghuni dan memilikinya. Di atas tanah tersebut berdiri sebuah rumah. Sudah puluhan tahun. Penghuni sekaligus pemiliknya mengatakan bahwa tanah dan rumahnya adalah warisan leluhur. Alhasil, ketika pihak yayasan yang disponsori oleh sekretaris Majelis Jemaat yang berkantong tebal karena memiliki perusahaan otobus terkemuka mendatangi si pemilik untuk membeli tanah dan rumah tersebut, mereka mendapatkan penolakan halus. Intinya, karena itu tanah dan rumah warisan, pemiliknya (yang tentunya ahli waris tanah dan rumah tersebut) tidak bersedia menjualnya – betapapun harganya.

Pendekatan demi pendekatan yang dicoba sepersuasif mungkin tetap gagal. Si penghuni sekaligus pemilik bersikukuh tidak bersedia menjual tanah dan rumahnya. Ini keramat, warisan leluhur. Pihak yayasan pun rapat, coba pikirkan jalan keluar. Rupanya, sekretaris MJ yang kaya-raya dan anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu menjadi gerah. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ini merintangi pekerjaan Tuhan. Entah Tuhan yang mana yang dimaksudnya. Tentu Tuhan Yesus, begitu kata hatinya. Tapi Tuhan Yesus yang mana, mungkin tidak sama dengan Laki-laki Bersandal yang gemar njajah desa milang kori di Galilea. Atau mungkin “Tuhan Yesus” itu nama suci buat ambisi-ambisi kotor dan hasrat nafsu angkara-murka. Lalu bagaimana menghadapi “iblis” yang “merintangi pekerjaan Tuhan” itu? Boss kita ini tahu betul, iblis yang satu ini tidak takut terhadap doa, ayat-ayat Alkitab, atau tengkingan dalam nama Yesus. Iblis ini juga tidak bisa ditaklukkan dengan segepok uang ratusan juta rupiah. Tapi mungkin iblis ini, seperti halnya banyak penduduk di negeri berkota C, takut pada bedil. (Sebab, sekian lama mereka telah terpaksa hidup di bawah ancaman moncong bedil rezim fasis yang bernama Tatanan Anyar. Memang, kini Tatanan Anyar sudah berlalu, diganti dengan Era Tanpa Tatanan, meski gembong-gembong dan kroco-kroco fasis tempo doeloe terus saja berusaha untuk come back to power. Dekat-dekat Pemilu, maraklah wajah-wajah para fasis di TV, di surat-surat kabar, dan di jalan-jalan.)

Segeralah boss kita yang sekretaris MJ merangkap orang kaya raya sekaligus anak emas orang kaya-raya pemilik perusahaan otobus itu bertindak. Percaya bahwa kemenangan anak-anak Tuhan ada di tumpukan uang dan moncong bedil, diajaknya seorang kepala polisi setempat untuk menemui iblis si ahli waris tanah dan rumah. Didatangi kepala polisi dengan pistol terselip di pinggang, si iblis mengkeret. Entah kejahatan apa yang disangkakan kepadanya, gemetar sekujur tubuhnya, juga tubuh istri dan anak-anaknya. “Sudah, jangan macam-macam. Bisa berabe nasib kalian. Sebutkan berapa banyak uang yang kalian kehendaki. Aku akan beri. Tapi jika tidak, urusanmu dengan Pak Kepala Polisi Setempat …” Mungkin karena trauma terhadap kezaliman rezim fasis Tatanan Anyar sekaligus buta-hukum, si iblis, istri, dan anak-anaknya menyerah. Disebutkanlah sejumlah uang. Tak lama kemudian, semuanya beres seberes-beresnya. Yayasan pendidikan gerejawi sekarang punya tanah persis di belakang kompleks sekolah menengah pertamanya.

Ketika para pendeta dan seluruh anggota Majelis Jemaat gereja besar itu mendengar laporan tentang keberhasilan yayasan “membebaskan” tanah tersebut, bersukacitalah mereka dan mengucap syukur kepada Allah. Gereja dan yayasan pun siap membangun ruang demi pengembangan pendidikan dalam rangka mission sacre memenangkan jiwa-jiwa tunas bangsa dan memberadabkan mereka menurut nilai-nilai kristiani yang lahir-batin sudah terjual di bawah rezim kapitalisme pendidikan. “Sungguh ajaib mukjizat Tuhan Allah itu,” kata salah seorang pendeta dalam khotbahnya saat peletakan batu pertama pembangunan ruang lab di atas tanah eks milik seorang iblis dan istri dan anaknya. Mereka sudah pindah entah ke mana. “Segala puji syukur bagi-Mu, demikianlah kami persembahkan tanah ini kepada-Mu. Berkatilah pembangunan dalam rangka pengembangan ini demi hormat dan kemuliaan bagi nama-Mu,” kata seorang pendeta lain dalam doa yang panjang lebar setelah “firman Tuhan” diwartakan. Berbagai pidato sambutan mengisi udara di siang hari bolong yang panas namun berkemenangan saat peletakan batu pertama …

Sadhumuk bathuk, sanyari bumi, itu sikap antara manusia dengan tanahnya, tanah leluhurnya, tanah yang dititipkan Yahweh kepada mereka. Itulah sebabnya Nabot mempertahankan tanahnya sampai mati dari keinginan Ahab. Kenyataannya, Nabot memang mati sebagai orang yang terkutuk menurut tuduhan tokoh-tokoh masyarakat Israel, fatwa mati Majelis Ulama Israel, dan putusan pengadilan yang distir oleh para pemangku kekuasaan negara. Si kromo, istri, dan anak-anaknya memang tidak sampai mati seperti Nabot. Rasa takut mereka begitu besar untuk ber-sadhumuk bathuk sanyari bumi. Tapi pada dasarnya yang telah terjadi di Kota C adalah Kebun Anggur Nabot Jilid Dua!” kata Nabi Elia, pahit.

“Gereja dan yayasannya harus turut bertanggungjawab, Kanjeng Nabi,” kata Nabi Amos, dengan takzim, kepada seniornya. Nabi Hosea, Nabi Yesaya, dan Nabi Mikha, jago-jago keadilan sosial era Perjanjian Pertama, mengiyakan kata-kata peternak dan pengumpul buah ara dari Tekoa itu. Karl Marx dan Frederick Engels, yang juga hadir, berkomentar dengan prihatin, “Agama memang candu rakyat.” Kedua gembong sosialisme-ilmiah yang brewokan itu juga menyayangkan terlambat bergeraknya sebuah partai kiri yang selama ini dikenal berkomitmen kepada buruh, tani, dan kaum miskin kota. “Mereka terlambat mengetahuinya sampai beberapa saat selah kejadian itu, Karel,” kata salah seorang malaikat kepada Marx.

“Lalu di mana para pendeta, dan apa yang mereka lakukan?” tanya Rosa Luxemburg, seketika teringat tulisannya, Socialism and the Christian Churches. Dalam tulisan itu ia mengekspresikan keyakinannya bahwa Gereja Perdana dan para rasul adalah kaum komunis yang ardent, meski para gerejawan Ortodoks mati-matian membenci kaum sosialis-demokrat.

“Mereka ada di sana, dan mereka tidak berbuat apa-apa,” kata Nabot, pahit.

“Ya, mereka ada di sana. Tapi mereka bukannya tidak berbuat apa-apa. Manisnya uang dan nikmatnya berbagai fasilitas dan jaminan hidup membuat para pendeta itu terbutakan. Kesadaran palsu telah membentuk mereka. Mereka memberikan legitimasi dan justifikasi teologis. Perampasan itu dimaknai sebagai cara Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Mereka bertingkah seperti imam-imam munafik di Kenisah, yang menguduskan ketidakadilan, kelaliman, dan kesewenang-wenangan atas nama Yahweh,” kata Nabi Yesaya.

“Tapi, bukankah mereka menyebut diri sebagai hamba-hamba Yesus Kristus? Bukankah mereka berkhotbah tentang Dia dan membaptis orang yang mengaku percaya kepada-Nya?” tanya Penatua Yohanes.

“Tapi Yesus Kristus yang mana, Saudaraku? Anda sendiri pernah berkata-kata tentang kristus-kristus tetiron, bukan? Salah satu kristus tetiron adalah kristus jelmaan Mammon. Bila Yesus dari Nazaret mengadakan peperangan tanpa kompromi, bertempur hidup-mati, melawan Mammon, kristus tetiron jelmaan Mammon menghendaki para pendeta menjadi budak Mammon dalam nama Yesus Kristus,” kata Rasul Petrus, prihatin.

“Lalu, bagaimana tanggapan Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu?” tanya Rasul Paulus, yang sangat mangkel karena ajarannya, iustificatio sola fide alias “pembenaran melalui iman” diselewengkan oleh banyak orang Kristen sehingga menjadi “apapun yang kau perbuat, karena kau sudah percaya kepada Yesus Kristus, sekali selamat tetap selamat!”

“Sekarang Dia terpenjara, Bro,” kata Penatua Yohanes, sedih. Tampak matanya berkaca-kaca, memantulkan duka jiwa “murid yang dikasihi Yesus.”

“Apa? Terpenjara? Apa maksudmu, Saudaraku?” tanya Rasul Paulus, kaget.

“Yesus terpenjara justru manakala Ia dimahkotai dengan mahkota emas oleh gereja dan orang-orang Kristen, wahai Rasul Paulus,” kata Kim Chi-ha, penyair Kristen dari Korea.

“Maksudmu?” tanya Rasul Petrus, yang pengakuan imannya terhadap Yesus dari Nazaret telah menjadi fondasi berdirinya gereja. Sedikit-banyak ia merasa turut bertanggungjawab atas penyelewengan terhadap kemesiasan Yesus.

“Yesus dari Nazaret yang kita kenal adalah sosok yang menjadi ancaman bagi kekuasaan, baik agama, politik, maupun ekonomik yang tidak adil, menindas, menghisap, pendeknya tidak manusiawi. Gereja di Kota C, bahkan di banyak tempat, tidak menyukai Yesus yang seperti itu. Maka mereka meringkus Dia, memahkotai kepala-Nya yang pernah berdarah akibat kezaliman manusia dengan mahkota emas, dan memenjarakan-Nya dalam semen. Kemudian mereka menaruh-Nya di altar pemujaan yang gegap gempita. Seolah-olah mereka memuja Dia, tapi sebetulnya telah membungkam mulut-Nya dan melumpuhkan aksi-Nya yang terkenal radikal,” papar Kim Chi-ha.

“Pada saat yang sama mereka membuat Yesus Kristus yang baru, yang pro-penindasan, pro-penghisapan, pro-ketidakadilan, pro-kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Kristus tetiron inilah yang melegitimasi dan menjustifikasi kejahatan-kejahatan mereka,” kata sang dokter revolusioner Ernesto Guevara de la Serna, alias El Comandante Che Guevara.

“Jadi, saat ini Yesus dari Nazaret, Kyrios dan Christos kita itu terbelenggu, ditawan oleh gereja dan para pemuja-Nya sendiri?” tanya Rasul Petrus, gelisah.

“Dulu,” kata Yohanes sang nabi, “Gereja di Laodikia pernah mengusir-Nya. Sampai-sampai Ia berkata, ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok…’ Sekarang mereka memenjarakan Dia dengan kemewahan.”

“Tentulah Ia merasa perlakuan ini lebih keji daripada menyalibkan-Nya,” kata penulis Surat Ibrani, yang minta kepada pers sorgawi untuk tidak menyebutkan namanya.

“Lalu apa artinya doa yang diajarkan-Nya kepada kita: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di sorga?” tanya Menno Simons, yang pedih hatinya karena sebuah gereja yang membawa-bawa namanya telah hidup dalam kekerasan dengan menggunakan uang dan bedil sebagai senjata ampuhnya.

Semua terdiam. Keheningan sarat duka meliputi ruang musyawarah para penduduk sorga. Gandhi Sang Mahatma, sang jiwa agung, bergumam, “Perlu ada lebih banyak sosok Yesus dari Nazaret di dalam dunia.”

“Sebetulnya itu tugas gereja dan orang Kristen, wahai Sang Jiwa Agung,” kata Bunda Teresa, lembut.

“Tapi begitu sosok Yesus dari Nazaret muncul dan berkiprah, seketika pula mereka akan berusaha menyingkirkannya,” kata Nabi Elia, geram namun merasa tidak berdaya.

“Itulah sebabnya revolusi belum pernah selesai, Kawam-kawan semua!” kata Marx.

Semua kembali terdiam, terpekur. Ruangan itu kembali hening. Kata-kata Marx terngiang-ngiang di telinga mereka. Banyak di antara mereka yang tidak setuju, tapi semua sadar: sukar menemukan cara lain.

Hanya ketika rakyat pekerja memiliki, menguasai, mengontrol, dan mengakses alat-alat produksi massal alias alat-alat pencipta kekayaan masyarakat secara demokratis, kukuhlah basis struktur masyarakat. Di atas basis itulah kelak akan dibangun suprastruktur rohani, etis, politik, dan budaya yang bernafaskan keadilan dan perdamaian.

“Hm, rakyat pekerja harus membebaskan Yesus dari Nazaret,” gumam Widji Thukul dan Marsinah, nyaris bersamaan. *** (Pandu Jakasurya_070309)

NEGARA

Sebagai realitas sosio-historis, negara (dengan “pemerintah” sebagai pengemudinya) tidak selalu ada. Ada suatu masa ketika negara dan pemerintah pernah tidak ada, dan kelak ada suatu masa ketika negara dan pemerintah tidak ada lagi. Negara dan pemerintah ada karena masyarakat terbelah ke dalam klas-klas yang memiliki kepentingan yang secara hakiki bertentangan. Ada klas yang membanting tulang bekerja untuk mempertahankan hidup, ada klas yang justru hidup dari pengambilan hasil kerja banting-tulang klas yang lain. Baik dalam masyarakat pemilik budak, feodalisme, dan sekarang kapitalisme, ini terus berlangsung. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah adalah “institusionalisasi kepentingan klas”. Maksudnya, negara dan pemerintah ada untuk menjamin kepentingan klas penindas dan penghisap.

Penjaminan itu bermekanisme ganda. Pertama, dengan alat-alat pemaksa (polisi, tentara, satpol PP, hukum, dan lembaga peradilan). Kedua, dengan alat-alat persuasi (filsafat, ilmu pengetahuan, agama-yang-telah-dijinakkan-dan-dekaden melalui berbagai saluran kultural). Dengan yang pertama klas penguasa membikin klas tertindas takut (sehingga tidak melawan). Dengan yang kedua klas penguasa membikin klas tertindas yakin bahwa segalanya baik-baik saja. Dalam terminologi Gramscian, yang kedua disebut hegemoni.

Lalu bagaimana?

Negara dan pemerintah tidak selalu ada: pernah tidak ada dan kelak akan tidak ada. Mereka akan tidak ada bila masyarakat tidak terbelah lagi dalam klas-klas antagonistik. Dengan kata lain, bila tidak ada lagi perjuangan klas, maka berhentilah negara dan pemerintah. Dalam masyarakat tanpa klas ini, yang ada hanyalah fungsi-fungsi administratif yang ditetapkan oleh dewan-dewan rakyat pekerja. Petugas administratif itu dipilih oleh rakyat pekerja dari lingkungan dewan-dewan rakyat pekerja. Mereka digaji sama dengan rakyat pekerja, dan sewaktu-waktu bisa di-recall oleh rakyat pekerja. Di sini, demokrasi perwakilan digantikan dengan demokrasi partisipatoris, demokrasi pekerja.

Dengan perspektif Histomat (Historical-Materialism) ini, saya setuju: bukan rakyat yang butuh pemerintah/negara, tapi pemerintah/negara yang butuh rakyat. Tapi “butuh”-nya sangat ironis: butuh sokongan rakyat yang justru menjadi obyek penghisapan klas yang berkuasa. Tapi perspektif ini juga menggarisbawahi hal yang jauh lebih penting: rakyat-pekerja harus berjuang untuk membangun alternatif bagi pemerintah/negara! Dan bagi orang-orang Kristen: bagaimana visi Yesus dari Nazaret tentang Pemerintahan Allah kena-mengena dengan alternatif ini? *** (Rudolfus Antonius)