Kamis, 07 Januari 2010

BAYANG-BAYANG KRISTUS

BAYANG-BAYANG KRISTUS*
PERSPEKTIF PEMERDEKAAN

Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi;
(ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. Kepadanya Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya.)
Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran,
dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera.
Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah,
harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan,
dan karena ia dijadikan sama dengan Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.
(Ibrani 7:1-3)


Saya kira Anda sepakat dengan saya mengenai tokoh Melkisedek. Tokoh misterius. Dalam Perjanjian Lama namanya disebut dua kali. Itupun cuma sekilas. Pertama, dalam hikayat kembalinya Abram dan pasukannya setelah mengalahkan raja-raja Timur. Abram dan Melkisedek bersua (Kej 14:18-20). Penuturannya persis seperti yang diungkapkan Ibr 7:1. Kedua, namanya disebut dalam Mzm 110:4, suatu mazmur penobatan raja: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek”. Itu saja dan itu saja. Tanpa penjelasan lebih lanjut. Di luar kedua bagian itu PL bungkam, meski tidak mustahil nama itu pernah mewarnai satu dari sekian banyak tradisi penghayatan iman Israel kuna.

Menelusuri Perjanjian Baru, nama tokoh ini juga nyaris tidak disinggung sama sekali. Kita kehilangan Melkisedek. Ketika kita membaca Surat Ibrani, barulah kita berjumpa kembali dengan Melkisedek. Perjumpaan ini pun bagi kita tidak menyingkapkan misteri Melkisedek. Kita malah makin bertanya-tanya, kelihatannya Melkisedek makin misterius. Pasalnya, Melkisedek dikaitkan dengan Yesus Kristus Tuhan kita! Yesus dikatakan sebagai imam (besar) yang ditetapkan Allah “menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 5:6; 6:20;7:11).

Kok begitu? Apa maksudnya? Oke, hal ini dapat diartikan bahwa keimaman Yesus tidak didasarkan atas imamat Harun yang Lewi itu. Bila didasarkan pada imamat Lewi, keimaman Yesus gugur. Sebab, imamat tersebut menetapkan pewarisan jabatan imam melalui keturunan. Padahal Yesus bukan keturunan Lewi. Keturunan Yehuda. Maka keimaman Yesus perlu dipikirkan dari imamat lain yang tidak berdasarkan keturunan. Dengan cerdik teolog penulis Surat Ibrani, tentunya tak lepas dari ilham Roh Kudus, menghubungkan keimaman Yesus Kristus dengan imamat Melkisedek yang memang sama sekali tidak berbicara apa-apa tentang pewarisan keimaman melalui keturunan. Lagipula, imamat Lewi yang mewarisi jabatan imam melalui keturunan itu mengandaikan kefanaan para pengemban jabatan imam! Setiap imam dalam imamat Lewi terbatas masa hidup. Padahal, dalam keyakinan teolog Surat Ibrani dan paguyuban-paguyuban gerejawi, Yesus Kristus pasca-Paska hidup selamanya! Sekali lagi, sang teolog dengan cerdik ilham Roh Kudus, menengok imamat Melkisedek yang tidak berbicara eksplisit implisit tentang keterbatasan waktui si pengemban jabatan imam. Pendeknya, keimaman Yesus Kristus sah bahkan melampaui keimaman siapa pun yang berada dalam imamat Lewi.


Teofani?

Itulah kiranya yang dimaksudkan teolog Surat Ibrani. Meskipun demikian toh Melkisedek tetap misterius. Apalagi Ibr 7:1-3 yang melukiskan Melkisedek sedemikian rupa dalam kesejajaran tentang Kristus. Lihat saja, “raja kebenaran,…raja damai sejahtera…, tidak berbapa tidak beribu: tidak bersilsilah; harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”. Tak heran bila ada orang yang berpendapat bahwa Melkisedek merupakan teofani (theos: Allah; fanein: penampakan, penyingkapan. Teofani=penampakan ilahi) Kristus dalam PL! Tapi masalahnya, penuturan tentang Melkisedek dalam Kej 14:18-20 justru memberi kesan bahwa Melkisedek adalah tokoh bumiah manusiawi. Ia adalah seorang imam El-elyon (Allah Yang Mahatinggi)! Artinya, ia adalah seorang yang, di samping sebagai raja, berprofesi melayani manusia (bangsa-bangsa penghuni Kanaan) dalam pemujaan kepada El-elyon alias Allah Yang Mahatinggi. Itu berarti tidak cuma sekali muncul kemudian lenyap pulang ke kahyangan. Padahal teofani alias penampakan ilahi, demikian menurut dogmatika, hanya muncul momentarily, beda dengan inkarnasi.

Dalam pada itu kita tidak akan menganggap Melkisedek sebagai inkarnasi Anak Allah, bukan? Sebab, bukankah inkarnasi merupakan pewahyuan ilahi yang final? Seperti dikatakan oleh teolog Surat Ibrani dalam mukadimah risalahnya: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya…”(Ibr 1:1-2). Jadi, Melkisedek bukan teofani Kristus apalagi inkarnasi-Nya.

Bayang-bayang Kristus

Jadi bagaimana? Melkisedek adalah Melkisedek. Menurut pendapat saya tidak ada hubungan langsung antara Melkisedek dengan Kristus. Hubungan yang sekarang dikemukakan oleh teolog Surat Ibrani merupakan penafsiran berdasarkan penghayatan dan refleksinya atas realitas Yesus sebagai Kristus-Tuhan-yang-bangkit. Dengan terang penghayatan dan refleksi itu teolog Surat Ibrani menafsirkan makna sosok Melkisedek dalam kerangka sejarah keselamatan ilahi yang kristosentris. Di dalam sosok Melkisedek ditemukannya citra-citra tertentu yang secara sempurna mengejawantah dalam diri Yesus Kristus. Melkisedek menjadi model bagi aspek tertentu dari diri Yesus Kristus, atau katakanlah bayang-bayang Kristus. Bukankah sang teolog sendiri mengatakan “ia dijadikan sama dengan Allah” (atau lebih baik: “ia diibaratkan sebagai Anak Allah”)? Penafsiran semacam ini disebut penafsiran tipologis.

Berdasarkan hal di atas kita akan menelaah ungkapan-ungkapan “raja kebenaran,…raja damai sejahtera,…tidak berayah tidak beribu: tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”.

Keadilan dan Perdamaian

Pertama, Melkisedek disebut bayang-bayang Kristus berdasarkan nama dan kedudukannya. “Melkisedek” (Ibr. melek=raja; tsedek=kebenaran, dalam arti keadilan) berarti “raja keadilan”. Berdasarkan nama ini sang teolog coba memahami jiwa-semangat dan karya atau perjuangan Melkisedek, sementara ia meyakini bahwa di dalam Yesus Kristus jiwa-semangat dan karya atau perjuangan itu sempurna adanya. Melkisedek adalah raja keadilan alias raja yang adil. Artinya, di dalam dirinya jiwa dan semangat yang dipenuhi keadilan menyatu dengan karya atau perjuangannya untuk menjadikan itu menjadi kenyataan. Kemudian teolog Surat Ibrani menafsirkan kedudukan Melkisedek. Si “raja keadilan” alias “raja yang adil’ ini ternyata juga “raja Salem”. Tidak muskil "Salem" di sini merupakan nama kuno dari kota Yerusalem. Tapi sang teolog tidak menaruh perhatian pada lokasi geografis atau asal-usul historis Yerusalem atau Salem. Yang menjadi minatnya adalah arti nama kota itu. Salem berarti damai sejahtera, situasi damai, atau perdamaian. Nah, Melkisedek si raja Salem dipahami sebagai raja damai sejahtera atau raja perdamaian. Jiwa dan semangatnya dipenuhi dengan kecintaan akan perdamaian atau damai sejahtera bangsa atau umat yang dipimpinnya. Dalam pada itu pemerintahannya ditandai dengan upaya mewujudkan perdamaian itu. Nah, bila Melkisedek disebut sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal keadilan dan perdamaian, bukankah kita diingatkan bahwa Yesus Kristus adalah Raja Damai yang di atas takhta dan kerajaan-Nya “damai sejahtera tidak akan berkesudahan”, karena Ia mendasarkan dan mengokohkan takhta dan kerajaan-Nya “dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya” (Yes 9:8-9)?

Ada hal yang menarik dalam tipologi ini, yakni keadilan dan perdamaian disebutkan bersama-sama. Ini mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian tidak terpisahkan. Dalam suatu masyarakat, tegaknya keadilan membuahkan damai sejahtera atau perdamaian sejati dalam kehidupan masyarakat itu. Sebaliknya, perdamaian sejati hanya mungkin tercipta bila keadilan diberlakukan bagi segenap anggota masyarakat. Dalam hal ini kita perlu merenungkan kondisi masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk negeri kita Indonesia. Dalam kondisi masyarakat yang penuh ketegangan bahkan konflik yang bukan saja membawa kerugian materi tetapi juga banyak meminta korban jiwa manusia, terdengar suara-suara yang menyerukan perdamaian. Pihak-pihak yang bertikai dihimbau bahkan didesak untuk mengupayakan perdamaian. Lewat berbagai cara, termasuk lewat iklan layanan masyarakat di media massa, masyarakat coba diyakinkan bahwa tanpa perdamaian manusia melulu dirugikan. Ini baik. Tapi tidak cukup. Cara berpikirnya melulu bertitik tolak dari akibat yang merugikan dari ketegangan dan konflik. Hal yang lebih hakiki, yakni keadilan seharusnya tidak diabaikan. Ketidakadilanlah hakikat ketegangan dan konflik. Suatu masyarakat yang kelihatan tenang-tenang saja sementara ketidakadilan merajalela terutama kemenangan yang tidak adil dari pihak yang berkuasa, bukanlah masyarakat yang berdamai sejahtera. Suasananya ibarat api dalam sekam. Bila ditiup angin, api itu akan berkobar melalap sekam. Dan itu tinggal menunggu waktu. Atau ibarat gunung vulkanik yang magmanya tinggal menunggu waktu untuk meledak keluar sementara desakan dari perut bumi kian kuat mahadahsyat. Tak heran bila, sebagai contoh, masyarakat Indonesia yang dikenal santun ramah berbudaya dibayang-bayangi amok massa beringas brutal biadab vandalistis secara beruntun sejak beberapa waktu terakhir ini. Ketidakadilan sudah begitu lama bercokol di negeri ini, dan itu di-back up kekuatan penguasa yang represif dengan militernya. Menciptakan perdamaian dalam situasi konflik mengandaikan upaya rekonsiliasi (pendamaian). Tapi rekonsiliasi muskil tanpa tindak penegakan keadilan. Hasrat akan keadilan merupakan salah satu unsur hakiki perikemanusiaan selain cinta dan belarasa.

Berkaitan dengan hal ini kita juga perlu merenungkan perjuangan orang-orang yang berusaha menegakkan keadilan demi terwujudnya perdamaian. Tidak sedikit di antara mereka mati demi perjuangan yang luhur itu. Seperti halnya Tuhan kita Yesus Kristus. Kita dapat menyebut Pastor Jon Bosco di Brasil, Pastor Camillo Torres di Columbia, Pastor Rutillo Grande dan Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero di El Salvador. Mahatma Gandhi. Semuanya martir demi keadilan dan perdamaian. Kita dapat juga menyebut Karl Marx. Memang ia ateis. Ia juga mati secara wajar. Tapi perjuangannya jelas lagi konsisten, betapapun ateistisnya ia. Agaknya tidak berlebihan bila orang-orang ini, selain Melkisedek, juga disebut sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal perjuangan keadilan dan perdamaian. Masih banyak lagi. Bahkan pada masa kita sekarang ini. Panggilan kristiani menyerukan supaya kita tidak menjauhkan mereka dari kita, atau menjauhkan diri kita dari mereka. Orang-orang kristen harus bekerjasama dengan setiap orang yang berkehendak baik demi tegaknya keadilan dan terwujudnya perdamaian.

Kehinaan

Kedua, Melkisedek disebut bayang-bayang Kristus berdasarkan asal-usul keluarganya. Kata teolog Surat Ibrani, ia tidak berayah tidak beribu, pendeknya tidak bersilsilah. Lagi-lagi kita melihat kecerdikan sang teolog dalam berargumen. Memang dalam PL tidak satupun terdapat informasi tentang ayah ibu apalagi silsilah Melkisedek. Hal ini kemudian ditafsirkan ia tidak berayah tidak beribu tidak bersilsilah. Barangkali persoalan yang cukup serius bagi sang teolog adalah mengapa tokoh yang dijadikannya tipologi alias bayang-bayang Kristus ini tidak memiliki silsilah. Jawabannya bisa amat sederhana: Melkisedek cuma tampil sekilas dan tidak memainkan peranan yang amat mencolok seperti Abaraham, Musa, Daud dan lain-lainnya. Namun dalam rangka berkristologi, keadaan tidak bersilsilah-nya Melkisedek menyiratkan jawaban yang amat menarik. Tidak bersilsilah menunjukkan betapa hinanya seseorang. Bisa jadi: anak haram. Atau: orang yang terbuang dari kelurga, tersingkirkan dari ikatan keluarga. Pendeknya, terhina ternista di mata manusia.

Dalam pada itu, Allah yang diwartakan Alkitab adalah Allah yang berdiri di pihak orang terbuang dan nista terhina! Ia membela mereka bahkan memuliakan mereka. Sebab, bukankah biasanya orang-orang yang hina itu yang berserah kepada-Nya dengan segenap percaya? Sebaliknya, orang-orang yang mulia agung megah jayawijaya kerap kali sombong di hadapan Allah, mengklaim bahwa mereka sendirilah penentu hidup mati mereka. Bahkan tak jarang di antara mereka menindas orang-orang lemah miskin tertindas dan melecehkan kaum terhina. Allah menentang mereka. Magnificat alias nyanyian pujian Maria memegahkan sikap Allah yang demikian (Luk 1:46-55).

Contoh paling akbar tentang hal ini adalah Yesus dari Nazaret sendiri. Bukankah di sepanjang hidup-Nya Ia kenyang dengan nista cemooh bahkan aniaya sampai mati dalam keadaan yang amat terhina? Bagaimana dengan ucapan orang-orang Yahudi, “Kami tidak dilahirkan dari zinah.”(Yoh 8:41)? Bukankah itu merupakan sindiran mereka tentang Yesus? Menurut mereka Yesus lahir dari zinah. Fitnah. Penghinaan. Fitnah dan penistaan yang lebih besar lagi menimpa Yesus Kristus. Dalam pada itu Yesus tetap setia melaksanakan kehendak Allah, Bapa-Nya, yakni mewartakan sabda gembira pemerdekaan. Sampai mati karena kekerasan yang berskenario, konspiratif. Dan memang, Allah berpihak pada-Nya. Ia membangkitkan Yesus dari kematian. Ia amat meninggikan Dia dengan menjadikan-Nya Tuhan dan Kristus! (Kis 2:36).

Jadi, Melkisedek adalah bayang-bayang Kristus karena kehinaannya. Kehinaan yang pada gilirannya akan diubah Allah menjadi kemuliaan. Sampai di sini kita perlu merenungkan sosok-sosok selain Melkisedek yang hina dalam pandangan manusia. Hina karena kemiskinan mereka, kemiskinan yang sebetulnya lebih banyak disebabkan oleh sistem yang tidak adil. Dosa struktural. Atau mereka yang hina dina karena cacat penyakitan, kurang bahkan tidak berpendidikan sehingga bodoh dibodohi rentan menjadi korban pembodohan. Atau mereka yang dianggap sampah masyarakat karena profesi mereka, sementara masyarakat tidak mengutuk orang-orang yang memanfaatkan jasa profesi mereka. Sebutlah perempuan-perempuan yang disebut pelacur, wts, pramunikmat dan sederet sebutan yang menyiratkan dehumanisasi oleh masyarakat atas mereka sebagai pribadi-pribadi manusiawi. Yang lain, karena pekerjaan rendah meskipun tidak menyalahi moral, seperti pembantu rumah tangga, penarik becak, pemulung, pengamen, pedagang asongan, penyemir sepatu. Yang lain lagi, orang-orang yang malang karena kejahatan, baik yang mereka lakukan maupun yang memangsa mereka sebagai korban. Orang-orang terpenjara. Baik penjara fisik Lembaga Pemasyarakatan, maupun penjara hidup seperti keterikatan pada narkoba. Mereka hina di mata masyarakat. Tapi mereka bayang-bayang Kristus. Bila mereka datang menghampiri Allah yang berbelarasa, bukankah Ia akan mengangkat mereka? Dalam hal ini ada panggilan bagi kita untuk melayani mereka dengan jiwa dan semangat melayani Kristus. Bukankah Tuhan-yang-bangkit itu kelak akan bersabda:”Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan bagi salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40).

Pelaku Sejarah Keselamatan

Ketiga, Melkisedek dikatakan sebagai bayang-bayang Kristus dalam hal “harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan”. Kita dapat segera menafsirkan bahwa Melkisedek kekal. Tapi sekali lagi kita melihat kecerdikan ilhami teolog Surat Ibrani. Jelas bahwa dalam PL tidak ada keterangan sama sekali tentang riwayat masa kecil, remaja, pemuda, dewasa maupun wafatnya Melkisedek. Hal ini ditafsirkannya dalam rangka berkristologi tipologis: tidak berawal tidak berakhir. Nah, bukankah Yesus Kristus tidak berawal tidak berakhir Alfa dan Omega? (Why 1:17; 2:8; 22:2). Yesus Kristus jelas demikian. Namun hal itu harus direnungkan dalam rangka state of exaltation-Nya dengan mengaitkannya dengan the state of humiliation-Nya. Tidak berawal tidak berkesudahan dapat dipahami dalam kaitannya dengan sejarah. Dalam sejarah peradaban manusia hingga kini, kita tahu bahwa yang dicatat di sana adalah orang-orang terkemuka yang dikenal sebagai subjek-subjek sejarah. Sejarah tidak mencatat orang-orang kecil yang oleh para penguasa sering diperlakukan sebagai objek dan bukan subjek atau pelaku atau penentu sejarah. Peran mereka dalam sejarah peradaban manusia tidak dipandang sebelah matapun. Namun sejarah mereka tidak berawal tidak berakhir, kekal. Sejarah keselamatan! Allah melibatkan orang-orang yang dianggap tidak signifikan dalam sejarah yang ditulis dalam rangka suatu peradaban yang ditandai oleh tampilnya orang-orang besar. Melibatkan mereka untuk mewujudkan rencana penyelamatan-Nya! Melkisedek, yang dalam PL hanya tampil untuk “setor muka” ternyata memiliki makna dalam sejarah keselamatan. Ia menjadi tipologi, bayang-bayang Kristus. Ya, Kristus yang dalam pandangan manusia juga tidak signifikan. Baik catatan Josephus, Tacitus maupun Plinius Muda tidak menganggap peristiwa Yesus signifikan. Tapi lain halnya bagi Allah! Peristiwa Yesus malah merupakan puncak Heilsgeschichte!

Di sini kita dapat merenungkan begitu banyak orang sederhana yang dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya! Orang-orang yang berdoa bagi pekerjaan Allah. Nenek-ibu yang tiap hari dengan setia menekuk lutut di hadapan Tuhan untuk mendoakan gereja, abdi-abdi-Nya. Orang tua yang mati-matian mendidik anak-anak mereka dengan teladan, disiplin, dan doa berurai air mata demi keselamatan dan kesungguhan hidup kristiani anak itu-anak! Kita dapat menyebut Monica, ibu dari Augustinus muda yang cerdas jenius tapi bejat moral. Dengan ayah yang rusak moral, Agustinus menjalani hidup yang rusak juga. Hidup dalam zinah, kemabukan dan sebagainya. Puluhan tahun Monica berdoa berurai air mata supaya anaknya diselamatkan. Akhirnya Allah menjawab doa Monica. Bahkan lebih dari itu, Augustinus (374-430 M) menjadi teolog besar yang berkontribusi besar dan dihormati baik oleh Gereja Katolik Roma maupun Gereja Reformasi. Di mata Allah, Monica adalah subjek atau pelaku sejarah keselamatan. Semua orang sederhana yang ambil bagian sekecil apapun itu dalam pekerjaan Allah adalah pelaku sejarah keselamatan. Hari-hari mereka tidak berawal tidak berakhir, tercatat dalam kitab kehidupan!

Penutup

Melkisedek yang misterius itu adalah bayang-bayang Kristus, yakni dalam jiwa-semangat dan kiprahnya bagi tegaknya keadilan dan perdamaian, kehinaannya, dan perannya dalam sejarah keselamatan. Bila direnungkan lebih lanjut, ternyata ada orang-orang lain di seluruh dunia di sepanjang zaman yang dalam satu dua hal menjadi bayang-bayang Kristus. Sebagai pengikut bahkan pemuja Tuhan Yesus Kristus, kiranya kita juga dapat menjadi bayang-bayang Kristus, atau dalam istilah lain, menjadi citra Kristus. Sebab, memang itulah tujuan penyelamatan kita. Seperti ditulis Rasul Paulus: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Rom 8:29).*** (Rudolfus Antonius_211099)



* Gagasan pokok artikel ini telah disampaikan dalam Kebaktian Minggu GKMI Kudus cabang Kaliwungu, 10 Oktober 1999 pk. 16.30 WIB, dengan judul Antara Bayangan dan Kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar